Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo memastikan akan menolak grasi yang diajukan 64 terpidana mati kasus narkotika dan obat terlarang (narkoba). Lembaga HAM internasional menilai keputusan tersebut tidak adil dan menggeneralisir persoalan.
Perwakilan Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Comission on Human Rights (AICHR) Rafendi Djamin mengatakan penolakannya perihal ketegasan hukum dijadikan dalih penerapan hukuman mati.
"Ketegasan salah kaprah kalau ditunjukkan dengan penerapan hukuman mati," ujar dia kepada CNN Indonesia, Rabu (10/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih jauh, ia menuturkan hukuman mati tak akan memberikan efek jera bagi pelaku dan bandar narkoba. Menurutnya, sejumlah kajian telah menunjukkan tidak adanya korelasi antara hukuman mati dengan tingkat kriminalitas di sebuah negara.
"Contohlah Malaysia, yang menerapkan hukuman mati tapi tingkat kejahatan narkoba tidak juga menurun," ujarnya. Hal yang sama, katanya, akan terjadi di Indonesia.
"Indonesia sudah menerapkan de facto moratorium hukuman mati pada 2014 dan kami dalam upaya mengubah kebijakan soal penerapan hukuman mati. Sekarang Indonesia berbalik, atas nama ketegasan," ujarnya.
Menurutnya, untuk menunjukkan ketegasan hukum sejumlah kebijakan lainnya dapat dilakukan seperti memerangi korupsi di lingkungan lembaga pemasyarakatan dan peradilan.
Persempit Korupsi Narkoba di LapasRafendi berpendapat perlunya pengetatan ruang gerak bandar narkoba dan terpidana narkoba lainnya.
"Ruang terjadinya penyalahgunaan oleh aparat lembaga pemasyarakatan harus dipersempit untuk wilayah pembinaan bandar narkoba sehingga bandar narkoba tidak bisa beroperasi di dalam penjara mengatur operasi bisnis," tuturnya.
Ihwal mekanismenya, Rafendi berpendapat harus dilakukan oleh kalangan internal pejabat lapas. "Itu bisa diatasi dengan mempersempit ruang korupsi dan kesempatan untuk korupsi di kalangan pejabat lapas," katanya.
Selain itu, cara lain yakni memutus mata rantai jual beli narkoba. "Kerja sama internasional ditingkatkan untuk memutus rantai supply and demand di tingkat regional dan internasional," ujarnya.
Lebih jauh, ia menyarankan adanya penghapusan ruang korupsi di kalangan kejaksaan dan kepolisian. "Banyak kasus yang menunjukkan jual beli perkara oleh mafia peradilan baik pengacara maupun jaksanya untuk isu narkoba," ucapnya.
Modus demikian mengorbankan satu orang kurir untuk menyelematkan satu jaringan yang lebih besar. Alhasil, jual beli perkara menjadi ladang subur bagi pemerasan antara aparat dengan tahanan. "Pilihannya bisa hukuman mati atau seumur hidup," katanya.
Merujuk data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sejak 2004 hingga 2008 sedikitnya 19 orang telah divonis mati. Mayoritas dari mereka terkait kasus narkoba. Sementara itu, sepanjang tahun 2008 hingga 2013, Indonesia menerapkan moratorium hukuman mati.
Namun pada tahun 2013, publik justru dikejutkan oleh pemerintah Indonesia yang kembali menerapkan hukuman mati kepada lima napi. Salah satunya, warga negara Inggris Lindsay Sandiford. Sementara akhir tahun ini, Presiden Joko Widodo memunculkan wacana penolakan permohonan keringanan hukuman bagi terpidana mati kasus narkoba.