HUTAN ADAT

Hutan Adat Direbut Negara, Warga Merana

CNN Indonesia
Kamis, 18 Des 2014 13:58 WIB
Yang membuat warga heran, di dalam hutan yang katanya taman nasional itu malah ada kegiatan eskplorasi pertambangan. 
Ilustrasi hutan. (Unsplash/Caspe Sparsoe_
Jakarta, CNN Indonesia -- Garis pembatas antara hutan adat dengan tanah milik negara masih jadi persoalan pelik. Negara memetakan hutan tanpa melibatkan warga. Hasilnya, warga terpinggirkan dan hak adat mereka atas hutan yang bertahun-tahun mereka tinggali tak lagi diakui.

Hal ini dialami masyarakat adat Cisitu, Banten. Sekretaris di Kesatuan Sesepuh Adat Cisitu, Kabupaten Lebak Yoyo Suhenda mengatakan, wilayah adat mereka kini diklaim masuk dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Akibatnya ruang gerak masyarakat jadi terbatas di hutan yang mereka anggap milik mereka.

"Masyarakat kami terbatas untuk melakukan aktivitas setelah wilayah adat diklaim jadi taman nasional," kata Yoyo saat ditemui dalam acara "Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hutan Adat" di auditorium Komisi Yudisial, Jakarta, kemarin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun yang membuat warga heran, di dalam hutan yang katanya taman nasional itu malah ada kegiatan pertambangan.

Warga, lanjut Yoyo, bukannya mendapat hak ulayat atas tanah adat mereka, malah dibatasi ruang geraknya. Yoyo mengatakan pada 2007 sekelompok warga Cisitu dipidanakan lantaran masuk ke dalam hutan.

"Mereka membawa peralatan makan, mau masuk ke hutan. Tapi dicegat petugas keamanan, terjadi keributan, dan masyarakat ditangkap," katanya. Mereka yang ditangkap selanjutnya harus menjalani proses hukum di pengadilan.

Masalah serupa juga dialami masyarakat Suku Pagu, Halmahera Utara. "Negara mengklaim tanah adat kami menjadi tanah negara," kata Kepala Suku Pagu Afrida Erna Ngato kepada CNN Indonesia dalam acara yang sama. Lucunya, wilayah adat yang diklaim negara itu malah menjadi konsensi PT Nusa Halmahera Mineral.

"Mereka mulai melakukan eksplorasi tambang sejak tahun 1996," kata Afrida.

Selain itu sebuah kawasan hutan cengkeh dan hutan damar yang diklaim sebagai milik masyarakat adat saat ini tak dapat lagi digunakan oleh Suku Pagu. "Hak ulayat masyarakat adat tidak diakui oleh negara dan negara mengklaim itu tanah mereka," katanya.

Alhasil, Afrida dan masyarakat Suku Pagu lainnya tak dapat beraktivitas dalam wilayah yang kini menjadi area eskplorasi perusahaan tambang tersebut. Bahkan hingga kini, tanah warisan leluhur mereka sejak abad 11 tersebut dibatasi oleh pagar tinggi milik perusahaan.

Temuan Komnas HAM di sejumlah daerah menunjukkan persoalan pelik tersebut terjadi lantaran masyarakat adat tidak dilibatkan dalam penentuan tapal batas. Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan memiliki versi peta kawasan hutan sendiri. Sementara masyarakat adat yang merasa memiliki tanah, tak dilibatkan dalam penentuannya. Alhasil, hutan adat diklaim menjadi hutan negara.

Kendati demikian, masyarakat adat masih punya harapan dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 soal Penentuan Status Hutan Adat dan Hutan Negara. MK memutuskan bahwa selama ini terdapat kekeliruan penafsiran pada Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. MK merevisi pasal 1 angka 6 menjadi "hutan adat bukan lagi hutan negara".

Tapal batas hutan adat yang masih jadi masalah pelik antara negara dan masyarakat hutan adat membuat Komnas HAM merasa perlu untuk memetakan permasalahan dan mencari solusi.

Wakil Komnas HAM Ansori Sinungan mengatakan, sebanyak 70 persen wilayah Indonesia berupa tanah dan hutan adalah wilayah masyarakat hutan adat. Namun akibat dari tanah di kawasan hutan yang tidak bertuan, kondisi dimanfaatkan pemilik modal untuk mengeksploitasi sumber daya alam.

Menurutnya, pengambilalihan tanah secara sepihak oleh pemilik modal seizin negara menimbulkan konflik dan masalah hukum adat.

Sementara itu Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjajanto mengatakan potensi korupsi sumber daya hutan di Indonesia masih tinggi. Korupsi tersebut melibatkan sindikat termasuk pejabat negara sebagai aktor.

"Masih ada perampokan atau perampasan dengan menggunakan kewenangan untuk mengambil alih hak fundamental rakyat," kata Bambang.

Modus yang kerap kali dipakai adalah dengan memberikan izin alih fungsi hutan kepada sejumlah perusahaan atau pemilik modal. Alhasil, masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hutan dan memiliki kuasa atas tanah adat, justru tak dapat mengaksesnya.

Bambang mencatat saat ini terdapat 31.957 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan. "71,06 persen masyarakat adat bergantung pada kawasan hutan," kata Bambang.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER