PERKARA MEDIA

AJI: Jurnalis Sering Diperlakukan Tak Layak

CNN Indonesia
Rabu, 24 Des 2014 09:16 WIB
Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan masih banyak jurnalis yang mendapatkan gaji sangat minim dan status kepegawaian tidak pasti.
(Ilustrasi). Jurnalis melakukan wawancara dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. (Reuters)
Jakarta, CNN Indonesia -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI)  mendesak perusahaan media untuk memperlakukan pekerja mereka dengan lebih layak dan manusiawi. Selain gaji pokok yang sangat kecil, persoalan ketidakpastian status pegawai masih banyak menimpa jurnalis di Indonesia.

Sekretaris Jenderal AJI Arfi Bambani Amri mengatakan pihaknya menemukan beberapa kasus di mana jurnalis tidak diperlakukan secara tidak manusiawi oleh media yang mempekerjakannya.

"Misalnya, ada jurnalis yang digaji berdasarkan jumlah berita yang ditulis. Ada yang diupah Rp 15 ribu per berita bahkan lebih murah dari nasi bungkus," kata dia saat ditemui di Kantor AJI, Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan survei 2014 AJI terhadap 60 perusahaan media di Jakarta, rata-rata upah reporter di Jakarta hanya mencapai sekitar Rp 3 juta. Sementara itu, sejumlah media masih mengupah jurnalisnya di bawah ketentuan Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta 2015, yakni Rp 2,7 juta.

Lebih jauh lagi, Arfi juga mengatakan sebanyak 60 persen berita masih terpusat pada Pulau Jawa sehingga nasib kontributor di daerah menjadi tidak jelas kepastian status kepegawaiannya.  

Selain status kepegawaian, persoalan lainnya yang dialami oleh jurnalis termasuk masalah jaminan kesehatan. Padahal, jam kerja jurnalis yang tidak pasti serta panjang membuat pekerja rentan dengan masalah kesehatan.

"Kami memaksa setiap media untuk menyediakan asuransi kesehatan atau BPJS kesehatan bagi jurnalisnya, termasuk kontributor," kata Arfi.

Arfi juga menekankan persoalan kesetaraan gender yang ternyata masih berlaku di lingkup perusahaan media. Dia mencontohkan bagaimana pekerja media perempuan belum mendapatkan jaminan sosial sama seperti lelaki.

"Pekerja lelaki ditanggung jaminan kesehatannya bersama isteri dan anaknya. Sementara, perempuan selalu dianggap lajang, anak tak ditanggung," kata Arfi.

Arfi kemudian merujuk kepada data 2014 AJI yang menyebutkan dari 15 media yang ada di Jakarta, hanya satu saja yang dinilai telah memenuhi hak normatif upah pekerja perempuan setara dengan laki-laki, yakni Harian KOMPAS.

"Pekerjaan jurnalis adalah menyampaikan kebenaran tetapi jurnalis sayangnya tidak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan," kata dia.

Membuka Anggota Jurnalis Warga

Untuk mendukung pemberitaan yang seimbang, AJI kini membuka keanggotaan bagi jurnalis dari kalangan masyarakat. Pasalnya, penguatan posisi jurnalis warga dinilai sangat strategis untuk penguatan publik dan memberikan alternatif atas dominasi media.

"Jurnalis warga yang profesional dan independen layak menjadi anggota AJI," kata Sekretaris Jenderal AJI Arfi Bambani Amri saat konferensi pers di Kantor AJI, Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).

Jurnalis warga yang profesional dianggap dapat mengisi kekosongan berita yang tidak diambil oleh media besar. Mereka juga diharapkan dapat mengawasi kinerja pemerintah yang terkadang luput dari pemberitaan nasional.

Di sisi lain, AJI menyebutkan masih banyak media yang melakukan pekerjaannya dengan tidak memenuhi kode etik. Pada tahun 2014, misalnya, AJI menemukan fakta banyak media turut berperan dalam pertarungan politik.

"Beberapa media penyiaran justru menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan politik sejumlah kalangan, terutama saat Pileg dan Pilpres lalu," kata Ketua Umum AJI Suwarjono.

Selain itu, AJI juga mencatat penggunaan kata oleh media yang dinilai menyudutkan dan tidak menghormati kaum minoritas. "Kami mengimbau redaksi media utk meningkatkan etika jurnalisnya," kata Arfi.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER