Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim Mahkamah Agung (MA) Krisna Harahap menilai Surat Edaran MA merupakan alternatif memecah kebuntuan pelaksanaan eksekusi pidana mati. Dasar keluarnya surat tersebut yakni Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA.
Kedua UU tersebut berisi pembatasan PK hanya satu kali. "Orang bisa saja mengajukan PK beberapa kali. Anda bisa perhatikan terhadap perkara yang extraordinary crime antara lain korupsi dan narkoba. Misal mau dieksekusi, dia mengajukan PK. Kapan berakhirnya?" ujar Hakim Krisna kepada CNN Indonesia, di Jakarta, Selasa (6/1).
Sedianya pada Desember 2014 Kejaksaan Agung mengeksekusi enam terpidana mati. Namun dua dari enam terpidana mati mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Untuk menghindari ketidakpastian hukum, MA melalui Surat Edaran MA Nomor 7 Tahun 2014 membatasi pengajuan PK hanya satu kali saja. Krisna menjelaskan, pelaksanaan hukuman mati tak bisa tertunda lantaran PK tanpa batas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berapa juta orang yang akan jadi korban? Kalau mereka dihukum mati dan tidak dieksekusi bagaimana?" katanya.
Krisna menjelaskan, proses pengajuan PK mulai dari permohonan hingga memutuskan, membutuhkan tempo yang lama. "Bisa saja bertahun-tahun diperiksa di tingkat PK. Ada yang sudah dalam perjalanan dua atau tiga tahun, baru sampai di MA. Baru ada distribusi perkara," katanya.
Ditambah lagi, MA saat ini tengah menangani ratusan perkara PK. Masa yang lama dapat dimanfaatkan para terpidana untuk menunda eksekusi.
"Bisa dijadikan alat oleh yang bersangkutan untuk bermain-main. Jadi misalnya terlibat narkoba, sudah diputus hukuman mati, untuk menghindari itu dia mengajukan PK. Kalau misal PK ditolak, mau dieksekusi, dia mengajukan PK lagi," ujar Krisna.
Oleh karena itu, MA melalui surat edaran meminta Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan di seluruh Indonesia untuk tidak mengirim berkas pengajuan PK ke MA.
"Surat Edaran MA hanya dikeluarkan dalam rangka petunjuk ke bawah dalam menangani permohonan PK yang masuk dan sangat penting untuk tingkat pertama agar tidak langsung (mengajukan) ke MA," katanya.
Namun, MA masih membolehkan pengajuan PK kepada pelaku tindak pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Nomor 10 Tahun 2009.
Diketahui, polemik PK bermula ketika bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar menggugat Pasal 268 ayat 3 KUHAP. Hamdan Zoelva selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) mengetuk palupada 6 Maret 2014 dengan keputusan pasal KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali tersebut dicabut bertentangan dengan UUD 1945.
(rdk/sip)