Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim Mahkamah Agung Krisna Harahap menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Peninjauan Kembali (PK) dilematis. Pasalnya, MK dinilai tidak memperhitungkan pelaksanaan PK di lapangan.
"Saya menyesali putusan MK dan terbukti sekarang jadi tumpang tindih. Jadi mempertentangkan masalah dan tidak disesuaikan dengan di lapangan. Banyak sekali perkara yang sifatnya extraordinary seperti narkoba dan korupsi yang perlu disegerakan," ujar Hakim Krisna ketika dihubungi CNN Indonesia, di Jakarta, Selasa (6/1).
Menurut Krisna, proses pengajuan PK hingga vonis hakim MA membutuhkan waktu lama. Terlebih saat ini MA tengah menangani ratusan perkara PK.
Dalam putusan Nomor 34/PUU-XI/2013, MK membatalkan pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang membatasi pengajuan PK sebanyak satu kali. Alhasil, terpidana atau ahli waris dapat mengajukan PK atas PK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan MK tersebut kemudian ditelaah oleh hakim agung. Para hakim juga membandingkan dengan kondisi di lapangan. Pada 31 Desember 2014, MA mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2014 yang membatasi pengajuan PK.
Menurut Krisna, kedua peraturan tersebut tak bisa dipertentangkan. "Putusan MK final dan mengikat. Tetapi apakah bisa memberikan kepastian hukum, manfaat, dan keadilan? Yang mana yang dituju, itu yang kita pegang. Tidak mungkin memuaskan semua orang, dilematis," kata Krisna.
Sebagai jalan tengah, MA mengeluarkan surat edaran yang bersifat internal. "Jalan keluar itu berupa petunjuk internal ke bawah. Kalau diributkan di luar, ya sebetulnya tidak usah dipertentangkan," ujarnya.
Dalam surat edaran tersebut, Ketua MA Hatta Ali meminta Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan di seluruh Indonesia untuk tidak mengirimkan berkas pengajuan PK kedua kalinya ke MA.
MA membantah tuduhan intervensi dari pemerintah soal surat edaran tersebut. "Saya rasa tidak ada hubungannya, kekuasaan kehakiman merdeka. Ketatanegaraan ada. Tidak benar ada intevensi," katanya.
(rdk/sip)