REMISI KORUPTOR

Hakim Agung Setuju Remisi Koruptor Dicabut

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Rabu, 07 Jan 2015 07:21 WIB
Pencabutan hak untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat punya dasar hukum selama masuk dalam tuntutan jaksa.
Sejumlah aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melakukan aksi damai di depan Gedung Kementrian Hukum dan Ham, Jakarta, Senin (22/9). Aksi tersebut menolak pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim Mahkamah Agung (MA) Krisna Harahap mendukung wacana hukuman tambahan berupa pencabutan remisi dan pembebasan bersyarat bagi para koruptor. Menurutnya, hal tersebut berdasar hukum sepanjang pengadilan memutuskannya dalam vonis sebagai hukuman tambahan.

"Sebetulnya bisa saja kalau diajukan dakwaannya oleh (jaksa) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau kejaksaan," ujar Hakim Krisna ketika dihubungi CNN Indonesia, di Jakarta, Selasa (6/1).

Apabila dalam persidangan jaksa menuntut hukuman tersebut dan majelis hakim mengabulkannya, maka seorang koruptor meurutnya tak dapat mengajukan keringanan hukuman tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Barangkali nanti di MA, hakim yang progresif akan mengabulkan karena itu merupakan termasuk di dalam hukuman tambahan," kata Krisna. Ia sendiri mengaku setuju dengan adanya pencabutan remisi dan pembebasan bersayarat bagi terpidana koruptor.

Krisna justru menyayangkan bila hukuman tambahan tersebut tidak diajukan dalam tuntutan jaksa di persidangan. Padahal dalam sidang tindak pidana korupsi selama ini jaksa penuntut umum pernah memasukan pencabutan hak politik dalam tuntutannya. "Kenapa ini (remisi dan pembebasan bersyarat) tidak dilakukan," katanya.

Selain itu, Krisna juga sepakat soal pencabutan remisi natal yang diberikan pada 49 koruptor oleh Kementerian Hukum dan HAM Desember lalu. Menurutnya, percuma jika koruptor dihukum berat oleh hakim di persidangan namun selanjutnya dikurangi karena ada peraturan yang berlaku umum dan bukan khusus.

Lebih lanjut ia menuturkan, harus ada perbedaan dalam pemberian remisi kepada koruptor dan terpidana umum. Krisna menilai, jika bicara HAM, koruptor juga melanggar HAM. Bahkan yang dilanggar adalah hak asasi anak bangsa bukan hak individu saja. "Mengambil duit rakyat, orang tidak bisa sekolah, kesehatannya terganggu, itu kan akibat anggaran yang digerogoti," katanya.

Senada dengan hakim Krisna, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi para koruptor dapat direalisasikan melalui tuntan yang diajukan Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pencabutan tersebut dibarengi dengan tuntutan pidana penjara dan uang pengganti seperti yang selama ini telah dilakukan.

Lalola menjelaskan, dasar hukum pencabutan hak tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf d Undang-Undang (UU) Pemberantasan Korupsi yang menyebutkan, selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan adalah pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah terhadap terpidana.

Sementara itu, Kementerian Hukum dan HAM justru menilai pemberian remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak bagi setiap nara pidana. Direktur Jenderal Pemasyarakatan Handoyo Sudrajat mengatakan remisi merupakan bentuk insentif bagi para koruptor.
(sur/obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER