PENINJAUAN KEMBALI

Ketua MA Tuding PK Berulang Jadi Dalih Tunda Eksekusi Mati

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Rabu, 07 Jan 2015 14:57 WIB
Dalam kasus narkoba, justru korban pecandu narkoba yang terlebih dahulu mati sebelum pelaku tindak pidana narkoba seperti bandar dieksekusi.
Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menilai pengajuan Peninjauan Kembali (PK) tanpa batas menjadi dalih penundaan eksekusi terpidana mati, Rabu (7/1), di Gedung MA, Jakarta. (CNN Indonesia/Aghnia Adzkia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menilai pengajuan Peninjauan Kembali (PK) tanpa batas menjadi dalih penundaan eksekusi terpidana mati. Dalam kasus narkoba, justru korban pecandu narkoba yang terlebih dahulu mati alih-alih pelaku tindak pidana narkoba seperti bandar.

"Pelakunya yang membawa korban banyak orang, tidak dieksekusi. Korbannya mati alamiah karena candu narkoba. PK ada yang memang beralasan hukum, tapi tidak sedikit ada yang PK tidak beralasan hukum tapi menunda. Tiap mau dieksekusi (mati) mengajukan PK lagi, mengajukan PK lagi. Kapan dieksekusi?" ujar Hatta Ali saat jumpa pers di Gedung MA, Jakarta, Rabu (7/1).

Menurut Hatta, terpidana menggunakan celah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam putusan tersebut, MK mengizinkan PK lebih dari satu kali.

Dalam putusan tersebut, lanjut Hatta, MK tidak membatalkan dua pasal yakni Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA. Menurut Hatta, keduanya mengatur pembatasan PK hanya satu kali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu tidak dicabut dan dihapuskan sehingga tidak dinyatakan tidak punya kekuatan hukum. Karena itu masih berlaku, ya hakim masih menerapkan itu," kata Hatta.

UU Kekuasaan Kehakiman, menurut Hatta, justru merupakan UU pokok yang mengatur asas hukum yang tidak boleh dilanggar oleh UU turunan. Dengan demikian, Surat Edaran MA Nomor 7 Tahun 2014 tentang pembatasan pengajuan PK hanya satu kali, telah berdasar hukum.

Penerbitan surat edaran tersebut juga berdasar realita penanganan perkara PK di MA. "Yang paling mengetahui kesalahan PK tidak satu kali di MA hanya MA. Institusi lain tidak merasakan. Kalau semua PK diperkenankan baik perkara pidana maupun perdata, PK lebih dari satu kali bahkan berulang kali, kapan habisnya?" ujarnya.

Dalam kasus terpidana mati narkoba, beberapa dari mereka justru telah mengajukan grasi kepada Presiden. Menurut Hatta, terpidana tersebut telah mengakui kesalahan dan meminta ampunan kepada Presiden.

Logika demikian bertolak belakang apabila terpidana mengajukan PK dengan menyodorkan novum atau alat bukti baru. Pada titik tersebut, terpidana justru masih mencari keadilan alih-alih mengakui kesalahan.

"Apa gunanya kita melakukan ancaman hukuman mati tapi tidak dilaksanakan?" katanya.

Hatta mengatakan, Surat Edaran MA tersebut menjadi petunjuk dan pegangan bagi seluruh jajaran pengadilan di bawah MA. Dalam surat edaran itu, Hatta meminta Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan di seluruh Indonesia untuk tidak mengirimkan berkas pengajuan PK kedua kali ke MA.

Namun MA masih membolehkan pengajuan PK kepada pelaku tindak pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009.

Polemik PK diketahui bermula ketika bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar menggugat Pasal 268 ayat 3 KUHAP. Hamdan Zoelva selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat itu mengetuk palu dengan keputusan pasal KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali tidak berlaku.

Sementara itu, Kejaksaan Agung menunda eksekusi hukuman mati untuk enam terpidana yang sedianya digelar Desember lalu. Dua dari enam terpidana mati tengah mengajukan PK dan telah menjalani sidang perdana di Pengadilan Batam, Selasa (6/1). Keduanya merupakan AH dan PL.

Dua terpidana mati lainnya yang terjerat kasus pembunuhan berencana, GS dan TJ, masih menunggu waktu eksekusi. Rencananya, eksekusi bakal dilakukan di Nusa Kambangan.

Dua terpidana lain yakni ND asal Malawi dan MACM asal Brazil terjerat kasus narkoba. Keduanya masih terkendala aspek yuridis untuk bisa dieksekusi.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana di Jakarta pada 24 Desember lalu menuturkan, pihak kejaksaan tengah memberitahukan proses eksekusi ND dan MACM ke negara mereka. (rdk/sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER