Surabaya, CNN Indonesia -- Bau menyengat tercium tajam dari jarak 50 meter. Tiga
cold storage atau kulkas pendingin jenazah yang disediakan Kementerian Kesehatan menjadi sumbernya.
Di Rumah Sakit Polda Bhayangkara Jawa Timur yang berada satu kompleks dengan Crisis Centre AirAsia QZ8501, menyisakan 15 jenazah dari hasil temuan tim evakuasi di Pangkalan Bun. Ke-15 korban pesawat nahas ini menunggu untuk diidentifikasi oleh Tim Disaster Victim Identification (DVI), yang sebelumnya sampai hari ke-11 atau Rabu (7/1) malam, berhasil mengidentifikasi 24 jenazah dan telah diserahkan kepada keluarga.
Tiga kotak pendingin seperti kontainer berukuran 8x2,5x2 meter ini menjadi satu-satunya alat bagi tim DVI untuk mengawetkan jenazah. Pasalnya, metode pengawetan lain dengan cara pembalseman dihindari karena akan merusak organ tubuh yang berdampak pada hilangnya sidik jari korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemeriksaan pun tidak bisa dilakukan terlalu lama guna menghindari pembusukan lanjutan. Tiga jam adalah waktu yang dibutuhkan untuk sekali pemeriksaan dan jenazah kembali dimasukan ke lemari pendingin.
Berkapasitas 80 jenazah di setiap pendingin, untuk pengawetan suhu diatur pada 4 derajat celcius yang letaknya bersebelahan dengan tenda postmortem. Di tempat yang terbuat dari susunan enam tenda pemeriksaan itu dilakukan proses pemeriksaan primer seperti sidik jari, sidik gigi, dan DNA. Selain itu juga pemeriksaan jenis kelamin, usia, dan data sekunder seperti properti khas jenazah. Otomatis bau menyengat pun tidak bisa dihindari.
"Ya tentu bau, sebab memang kondisi jenazah sudah mengalami pembusukan lanjut. Itu juga akibat tidak dilakukan pembalseman atau menggunakan bahan kimia lainnya,” kata Direktur Eksekutif Disaster and Victim Identification atau DVI Indonesia Anton Castilani di sela pekerjannya saat ditemui CNN Indonesia, Kamis (8/1).
Anton menjelaskan pihaknya menghindari obat atau bahan pengawet karena bisa menghambat identifikasi. “Maka jenazah yang sedang didalami identitasnya hanya disimpan di dalam cold storage," ujar Anton.
Tak Jadi HambatanMemasuki hari ke-12 ini sebanyak 240 personel Tim DVI gabungan dari 30 instansi dan ditambah lima Tim DVI luar negeri kembali melanjutkan kerja kerasnya. Tim bantuan dari negara sahabat itu masing-masing dari Singapura 10 personel, Australia empat personel, Korea Selatan satu personil, Uni Emirat Arab lima personil, dan Malaysia delapan orang.
Anton memastikan faktor bau busuk tidak menjadi hambatan karena telah menjadi pekerjannya sehari-hari. "Sarung tangan, lengkap dengan baju forensik dan sepatu bot. Kadang menggunakan balsem tepat di hidung untuk meminimalkan bau itu supaya tidak terpapar efek atau aromanya. Radiusnya yah sekitaran tempat riksa saja makanya tempatnya rapi supaya tidak mencemari udara," tutur Anton.
Tak lagi ada hilang nafsu makan, karena mereka mengaku sudah terbiasa dengan identifikasi mayat. Bahkan mayat yang telah hancur sekalipun. Seperti dituturkan dr. Choi tim DVI dari Korea Selatan, ia siap membantu apa pun untuk mengindentifikasi, terlepas bau tidaknya atau kondisi jenazah seperti apa pun karena itu sudah menjadi tugasnya.
"Tugas saya membantu mengidentifikasi, itu sudah risiko saya dan kami sebagai pekerjaan," ujar Choi kepada CNN Indonesia.
Selama proses tiga jam pemeriksaan, petugas berkejaran dengan waktu, karena dalam tiga jam tersebut semua harus dilewati jenazah untuk proses identifikasi. Pertama, jenazah harus melewati proses INAFIS, lalu masuk ke tim ahli seperti DNA, sidik jari dan gigi.
Kemudian dilanjutkan pada pemeriksaan rekam jejak medis sebagai pemeriksaan sekunder dan usia serta kelamin. Terakhir yaitu pemeriksaan properti milik korban untuk meyakinkan hasil identifikasi.
(pit/obs)