Jakarta, CNN Indonesia -- Kecaman yang diterima Indonesia, baik dari lembaga hak asasi manusia maupun negara-negara lain, tak membuat pemerintah RI berubah pikiran soal penerapan eksekusi mati terhadap pengedar dan bandar narkoba. Hukuman mati tetap dipandang pemerintah sebagai solusi atas kejahatan narkoba.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan kecaman dari luar negeri merupakan hal yang wajar. Jika warga negara Indonesia di negara lain terancam eksekusi mati, pemerintah RI juga akan berupaya melindungi.
"Itu kewajiban kita. Indonesia sama dengan negara lain, berupaya melindungi warga negaranya," kata Yasonna usai menghadiri pelantikan Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa (20/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perlindungan pemerintah terhadap warga negara, ujar Yasonna, merupakan hal wajib dan tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sementara soal penegakan hukum untuk bandar narkoba, pemerintah tak memberikan ampunan atau keringanan hukuman. "Kalau kejahatan narkoba kita biarkan, bahaya republik ini. Jadi ini bukan soal warga negara, tapi soal kejahatan. Warga negara apapun, kalau melakukan kejahatan narkoba (di Indonesia), harus dieksekusi mati," kata Yasonna.
Yasonna menegaskan hukuman mati diperlukan untuk memerangi narkoba. Ia mencontohkan sejumlah negara yang menerapkan hukuman serupa. "Negara lain seperti Malaysia dan Singapura juga melakukan itu (eksekusi mati). Terbukti kasus narkoba di sana tidak ada," kata dia.
Merujuk Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ancaman hukuman mati diakui secara legal. Selain itu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menyebut hukuman mati dijatuhkan kepada produsen dan pengedar narkoba. Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya berpendapat hukuman mati dilindungi oleh konstitusi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Berlandaskan sejumlah aturan tersebut, aparat penegak hukum lantas mengeksekusi mati enam orang yang terjerat narkotika. Minggu (18/1), enam terpidana mati perkara narkotik yang permohonan grasinya ditolak Presiden Joko Widodo telah dieksekusi. (Baca:
Detik-detik Maut Lima Terpidana di Depan Regu Tembak)
Lima di antaranya ditembak di Nusakambangan, Jawa Tengah. Mereka adalah Ang Kiem Soei, warga negara Belanda; Namaona Denis, warga Malawi; Marco Archer Cardoso Moreira, warga Brazil; Daniel Enemuo, warga Nigeria; dan satu-satunya orang warga negara Indonesia, Rani Andriani, seorang wanita asal Cianjur. Sementara seorang lainnya yaitu Tran Thi Bich Hanh, warga negara Vietnam, dieksekusi di Boyolali.
Ancaman seriusMenteri Luar Negeri Retno Marsudi secara terpisah mengatakan dunia perlu paham dengan upaya serius Indonesia memerangi narkoba. “Sebab negara ini sudah menjadi destinasi, tujuan pasar narkoba,” kata dia di Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan.
Posisi geografis Indonesia yang strategis tak hanya membuat RI menjadi destinasi pasar narkoba, melainkan juga daerah transit mafia narkoba internasional. Kini di Indonesia ada 5 juta pemakai narkoba, dan 2 juta jiwa di antaranya dalam keadaan parah sehingga tak bisa lagi direhabilitasi.
Dari jumlah 5 juta pengguna narkoba, sekitar 40-50 orang tewas setiap harinya. Jika dikalkulasi, angka kematian akibat narkoba di Indonesia sekitar 14.400-18.000 jiwa. “Jika satu pecandu sabu-sabu butuh satu gram per hari, artinya ada 4-5 ton sabu per hari beredar,” kata Retno.
Menurut Retno, Indonesia adalah negara ketiga pengguna narkoba terbesar di dunia. Sekitar 10 persen angka kematian akibat narkoba di dunia, ada di Indonesia. Bisnis gelap ini per tahunnya menghasilkan sekitar Rp 110 triliun, dan sekitar 43 persennya ada di Indonesia.
Oleh sebab itu Retno menyebut Indonesia saat ini dalam status darurat bahaya narkoba. Terlebih, menurut Yasonna, 50 persen narapidana di Indonesia adalah narapidana kasus narkoba. Untuk itu pemerintah menyiapkan dana rehabilitasi Rp 1 triliun untuk menolong sekitar 100 ribu pemakai narkoba.
(utd/agk)