Jakarta, CNN Indonesia -- Mahakamah Agung dan Komisi Yudisial mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan peraturan soal pendanaan pendidikan calon hakim. Nihilnya aturan tersebut menyebabkan problem penggajian calon hakim.
Alhasil, proses rekrutmen hakim pun terhenti sejak tahun 2010. Padahal, MA membutuhkan setidaknya 250 hakim tiap tahun untuk mengganti hakim yang pensiun.
"MA mendesak Presiden Jokowi untuk membuat payung hukum untuk calon hakim yang mengatur dasar penggajian dan kelanjutannya bagaimana," ujar juru bicara MA Suhadi ketika dihubungi CNN Indonesia, Selasa malam (20/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merujuk UU Kekuasaan Kehakiman, hakim merupakan pejabat negara yang dibiayai oleh pemerintah. Suhadi mengatakan MA telah berkirim surat ke Presiden untuk memecahkan masalah ini.
"Dalam surat tersebut, MA meminta presiden untuk memberikan jalan keluar apakah aturannya melalui Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) untuk menanggulangi penggajian para calon hakim sebelum diangkat menjadi hakim," katanya.
Kendati demikian, hingga kini belum ada tanggapan dan kepastian. Padahal, untuk pengadilan tingkat pertama di seluruh Indonesia, MA membutuhkan hingga 900 hakim.
"Dulu calon hakim dianggap sebagai calon Pegawai Negeri Sipil (PNS), tapi sekarang statusnya tidak jelas," ujarnya.
Senada dengan Suhadi, Ketua Bidang Rekrutmen dan Pengawasan Hakim KY Taufiqurrahman Syahuri juga mendesak presiden untuk menerbitkan kebijakan tersebut.
"Di UU, seorang hakim harus lulus pendidikan hakim dulu dan pendidikan hakim butuh biaya," kata Taufiq.
Dasar kebijakan presiden tersebut, kemudian akan digunakan untuk mengatur alokasi anggaran oleh Kementerian Keuangan bagi para calon hakim. Ketiadaan payung hukum tersebut apabila tak segera ditangani maka akan memacetkan proses seleksi hakim untuk pengadilan negeri.
(utd/utd)