Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat masalah perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, sudah memprediksi Kota Jakarta bakal menjadi kota termacet di dunia, seperti hasil survei Castrol Magnetec dengan menghitung Stop-Start Index. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dituntut untuk segera mengatasi masalah yang sangat besar ini dengan cara yang tepat.
Yayat mengatakan Jakarta sejak tahun 2000 sebenarnya sudah mengantisipasi masalah kemacaten yang terjadi saat ini berdasar hasil kajian sebuah lembaga di Jepang pada waktu itu. “Lembaga kajian itu memprediksi bahwa lalu lintas di Jakarta pada 2014 akan mengalami kelumpuhan karena kemacetan, dan itu terbukti sekarang,” kata Yayat saah dihubungi CNN Indonesia, Kamis (5/2).
Yayat menuturkan pemerintah provinsi DKI pada 2004 sebenarnya sudah mulai bertindak nyata untuk mengantisipasi kemacetan dengan konsep Mass Rapid Transit, Busway, monorail, hingga proyek angkutan air atau waterway. “Tapi monorail dan waterway gagal, MRT juga proyeknya baru dimulai sekarang. Kalau busway juga tak sesuai target, tahun 2010 belum tuntas,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kondisi yang demikian, Yayat menegaskan, pemerintah DKI dituntut komitmennya untuk benar-benar serius mengatasi kemacetan. Dia menyebutkan, perbandingan rasio jalan dengan luas wilayah sangat jauh dari kesesuaian. “Perbandingan panjang jalan dengan luas wilayah cuma 7 persen, seharusnya idealnya di atas 10 persen supaya sebanding,” kata Yayat.
Yayat menjelaskan pertambahan panjang jalan sangat sedikit sementara jumlah kendaraan setiap harinya terus bertambah sangat banyak. “Rata-rata kecepatan kendaraan di Jakarta hanya 20 km per jam. Bahkan di jam-jam tertentu hanya 5 atau 10 km per jam,” ungkapnya.
Lebih lanjut menurut Yayat ada tiga solusi yang harus segera dilakukan untuk mengatasi masalah kemacetan yang luar biasa. Pertama, redistribusi fungsi yaitu apa yang ada di Jakarta harus dibagi-bagi keluar wilayah seperti bangunan mal-mal, perkantoran, dan kawasan industri. “Ke Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bogor,” ucap Yayat.
Solusi kedua yaitu percepatan penyediaan sarana dan prasarana transportasi publik. “Bukan hanya ditambah jumlahnya tapi juga dibenahi dan diintegrasikan dengan baik,” kata Yayat.
Adapun jalan keluar yang ketiga yakni menyangkut kebijakan pelarangan-pelarangan seperti pembatasan usia kendaraan dan tidak bolehnya kendaraan tertentu melintasi beberapa ruas jalan di dalam kota.
“Kalau untuk dalam waktu dekat ini diterapkan kebijakan pembatasan usia kendaraan di Jakarta, itu tidak tepat. Benahi dulu sistem transportasi publiknya, baru bicara soal pelarangan,” tutur Yayat.
(obs)