Jakarta, CNN Indonesia -- Persidangan praperadilan yang diajukan calon tunggal Kapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan kembali dilanjutkan, Senin esok (9/2). Polri dan Budi Gunawan diminta untuk tidak mencari celah hukum dalam gugatan praperdilan atas penetapan tersangka.
Pasalnya, menggugat lewat praperadilan atas penetapan tersangka tidak sesuai dengan Ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar hukum.
Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Ganjar Laksmana berpendapat, tidak ada dasar hukum lain yang mengatur pelaksanaan sidang praperadilan selain KUHAP. "Yang diatur KUHAP itu tata cara yang diperkenankan oleh hukum. Tidak boleh ditafsirkan sepihak," ujar Ganjar di Kantor YLBHI, Jakarta, Ahad (8/2).
Dalam KUHAP, tidak ada pasal maupun ayat yang mengatakan sidang praperadilan dapat digunakan untuk membatalkan status tersangka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hanya ada lima wewenang sidang praperadilan menurut KUHAP. Kalau di luar wewenang itu, persidangan bisa dilakukan di luar praperadilan, yaitu pengadilan umum," kata Dosen Kriminologi Universitas Indonesia Ferdinand Andi.
Lima kewenangan tersebut Yaitu menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tuntutan mengenai ganti rugi atau rehabilitasi akibat penahanan tersangka.
Gugatan praperadilan atas penetapan tersangka yang diajukan Budi dan Mabes Polri ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menyalahi aturan hukum formal yang berlaku di Indonesia. Apalagi, gugatan dalam sidang praperadilan diajukan ke PN Jakarta Selatan yang tidak memiliki hak menggelar persidangan pidana korupsi.
"Gugatan yang diajukan ke PN Jakarta Selatan menandakan ada wilayah kompetensi yang berbeda. Karena kondisi praperadilan dengan konteks tersangka, mengacu Pasal 63 KUHAP, gugatan praperadilan untuk tindak pidana korupsi dengan tujuan rehabilitasi dan ganti rugi harus diserahkan ke PN Tipikor Jakarta Pusat," jelas Direktur Advokasi & Kampanye YLBHI Bahrain.
Gugatan praperadilan lantaran penetapan tersangka pernah dilakukan dua kali sepanjang sejarah hukum di tanah air. Pertama, pada 27 September 2012 ketika hakim tunggal Suko Harsono memutuskan penahanan tersangka korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah, tidak sah.
Bukan hanya itu, Suko yang bersidang di PN Selatan juga memutuskan bahwa penetapan tersangka Bachtiar tidak sah. Kejaksaan Agung lantas melaporkan Suko ke Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Suko dijatuhi hukuman disiplin karena melampaui kewenangan praperadilan setelah memutuskan bahwa penetapan tersangka tidak sah.
Kedua, gugatan praperadilan terhadap status tersangka Toto Chandra, pimpinan perusahaan Permata Hijau Group yang dijadikan tersangka oleh Direktorat Jenderal Pajak tahun 2009. Toto mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada Agustus 2014 karena tak terima dijadikan tersangka.
Gugatan Toto dikabulkan hakim tunggal M Razzad. Pembatalan status tersangka Toto membuat Ditjen Pajak melaporkan Razzad ke KY. Hingga kini KY belum memutus laporan atas nama hakim Razzad.
(rdk)