Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan perlindungan perempuan dari kekerasan dan sikap diskriminatif tidak mendapatkan tempat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2015 ini. Dari 37 Rancangan Undang-Undang yang disahkan DPR pada Senin (9/2) lalu, tidak satupun yang menyinggung secara khusus mengenai persoalan perempuan.
Keputusan DPR untuk mengesahkan RUU yang mayoritas berkaitan dengan sektor ekonomi dikritik oleh aktivis yang tergabung dalam Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3). Mereka mengungkapkan kekecewaannya karena pemerintahan Kabinet Kerja Jokowi-JK tidak memasukkan RUU pro perempuan dalam prioritas tahun ini.
"Kami sangat kecewa. Tidak satupun yang masuk prioritas Prolegnas. Padahal, ada dua janji Presiden Jokowi dalam Nawacita yang berkaitan dengan RUU pro perempuan yang kami dorong selama ini," kata Pendiri Institut Perempuan yang juga tergabung dalam JKP3, Valentina Sagala, kepada CNN Indonesia, Rabu (11/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Valentina mengatakan selama ini kelompok sipil masyarakat penggiat isu perempuan telah berupaya mendorong beberapa kebijakan yang pro perempuan, seperti diantaranya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG), Amendemen UU Perkawinan, RUU Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Namun, tidak satupun dari RUU tersebut yang tembus ke dalam Prioritas Prolegnas 2015. Bahkan, Valentina mengatakan kecil kemungkinan RUU tersebut masuk ke dalam Prioritas Prolegnas menengah 2015-2019.
Valentina menilai RUU pro perempuan tersebut penting sebagai payung hukum yang bisa melindungi perempuan dari kejahatan dan kekerasan, pelecehan seksual serta perilaku diskriminatif. Tidak masuknya RUU tersebut dalam program prioritas DPR, katanya, bisa berdampak pada penyederhanaan kasus kekerasan seksual terbatas pada perbuatan tidak menyenangkan dan tindakan asusila.
Lebih jauh lagi, dia mengatakan selama ini Indonesia, dalam skala nasional, belum memiliki UU yang bisa memastikan adanya penegakan hukum yang berperspektif perempuan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) misalnya, katanya, belum mampu menjerat pelaku, terutama pelaku pelecehan seksual melalui dunia maya untuk diadili. Oleh karena itu, dia melihat keberadaan RUU Kekerasan Seksual menjadi penting untuk membantu meminimalisir jumlah kejahatan seksual terhadap perempuan.
"Pasal-pasalnya, misalnya, pasal 285, 286 dan 287 masih mengkategorikan pelecehan dan kekerasan seksual ke dalam tindakan asusila. Sehingga, pertanyaan yang dilemparkan aparat pasti hanya berkaitan dengan moralitas," ujar dia menegaskan.
Sementara itu, Adriana Venny dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga kecewa karena telah memperjuangkan RUU pro perempuan itu sejak lama. RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, misalnya, telah diajukan tim JKP3 sejak 2004. Begitupula dengan Amandemen UU Perkawinan yang telah diinisiasi sejak 2005.
"Kami melihat sejauh ini upaya pemerintah masih tidak nyata dalam melindungi perempuan dan anak dari kasus kejahatan dan kekerasan. Makanya, kami terus mengupayakan RUU ini," kata dia. Amendemen Undang-Undang Perkawinan, katanya, menjadi penting untuk mencegah perkawinan usia dini yang berpotensi terhadap perilaku kekerasan dan perdagangan perempuan.
Valentina kemudian mencontohkan, misalnya, dalam kasus peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dinilai belum efektif untuk mereview kembali atau mencabut perda yang bersifat merugikan perempuan. Salah satunya adalah peraturan pemerintah Jember, Jawa Timur, yang mewajibkan tes keperawanan bagi siswa perempuan sebelum diterima masuk sekolah. RUU KKG, katanya, dengan demikian diharapkan bisa menjadi rujukan pemerintah terutama daerah sebelum mengeluarkan perda tertentu.
"Ini mana, payung hukum di level UU, yang bisa mencegah atau menolak perda diskrimintif semacam itu. Dari 682 perda diskriminatif tahun lalu, tidak ada satupun perubahan signifikan yang kami amati," ujar dia.
Venny lantas mengatakan saat ini pihaknya akan berupaya untuk menekan Presiden Jokowi agar melakukan evaluasi kinerja kabinet, terutama peran kementerian untuk mendorong UU yang pro perempuan.
"Bagaimanapun semestinya peran kementerian, terutama KPPA, sangat penting untuk mendorong RUU pro perempuan ini bisa masuk ke dalam Prolegnas,"ujar dia.
(utd)