Coret RUU PRT dalam Prolegnas, DPR Dinilai Bohongi Publik

CNN Indonesia
Minggu, 15 Feb 2015 18:15 WIB
Sikap Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang tidak mengusulkan UU PRT dalam pembahasan legislasi juga menjadi hal yang sangat disayangkan.
Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran mengaku kecewa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencoret RUU Perlindungan Pembantu Rumah Tangga dalam Program Legislasi Nasional, di Jakarta, Minggu (15/2). (CNN Indonesia/Aghnia Adzkia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membohongi publik. Pasalnya, wakil rakyat tersebut tak memasukkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) ke dalam Program Legislasi Nasional 2015.

"Kami protes keras atas tindakan pembohongan publik dengan menghapus UU PRT dalam Prolegnas. Kami menyayangkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tidak mengusulkan UU PRT dalam pembahasan legislasi," ujar Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraini, saat acara Peringatan Hari PRT Nasional, Minggu (15/2).

Menurutnya, jika Indonesia menuntut negara lain melindungi buruh migran, maka Indonesia juga harus konsisten melindungi PRT dalam negeri melalaui payung hukum.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam dua periode lalu, RUU tersebut telah masuk dalam daftar Prolegnas. Namun, pembahasannya tak kunjung digelar. Lita curiga, ada permainan lempar tangan oleh para anggota dewan.

Padahal, sebagai tenaga kerja, Lita menilai PRT haruslah dilindungi hak-haknya."Kalau tidak disahkan, bagaimana perlindungan terhadap hak-hak PRT yang harus dipenuhi?" katanya. Hak tersebut merupakan hak standar normatif ketenagakerjaan.

"Misalnya, pengakuan PRT sebagai pekerja dan mendapat libur mingguan minilai sehari dalam seminggu," kata Lita. Saat ini, PRT kerap dipandang sebelah mata dengan dalih pekerjaan mereka hanyalah berada pada sektor informal.

Sementara, mengenai gaji layak, PRT menilai belum mendapatkannya. Padahal, menurut standar upah minimum di Jakarta, setidaknya mereka mendapatkan Rp 2,7 juta tiap bulan. "Harus ada juga tunjangan Hari Raya juga senilai satu kali gaji," ujar Lita.

Lita melanjutkan, selama dirinya dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengadvokasi para PRT, tunggakan gaji merupakan permasalahan dominan yang dialami. "Sebanyak 75 persen dari kasus yang ditangani, kebanyakan tidak dibayar gajinya. Ada yang selama tiga atau enam bulan," katanya menjelaskan.

Lebih lanjut, Lita memaparkan jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan juga tak didapat PRT. "Sampai sekarang mereka masih dikecualikan dengan jaminan itu. PRT dianggap sebagai pihak di luar hubungan kerja," ujarnya.

Selain itu, kerap kali PRT tak memiliki hak berserikat dan berkumpul. "Hak komunikasi sama sekali tidak ada, seperti kesulitan keluar rumah," katanya.

Untuk meminimalisir adanya pemasungan hak-hak tersebut, Lita menambahkan harus ada perjanjian kerja antara pembantu dan majikannya. "Harus tertulis kalau tidak, ada potensi pengingkaran, misal pemotongan upah," katanya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER