Jakarta, CNN Indonesia -- Bos Sentul City sekaligus bekas Presiden Direktur PT Bukit Jonggol Asri Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng mengalami depresi ketika mendekam di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kuasa hukumnya, Bambang Hartono, meminta pemindahan kliennya ke rutan Salemba.
"Kami mohon mengajukan pindah, sebelumnya di rutan KPK ke rutan Salemba," ujar Bambang saat akhir sidang pembacaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (18/2).
Selain mengalami depresi, Swie Teng juga memiliki penyakit jantung dan insomnia. Padatnya rutan KPK menjadi salah satu faktor. "Di rutan KPK tidak cukup memberikan ruang udara karena rutan KPK full," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang menuturkan, cuaca sedang tidak mendukung untuk berolahraga di luar ruangan. Sementara tak ada ruang kosong yang lapang di dalam ruangan. Praktis, waktu olahraga selama 1,5 jam selama tiga kali dalam sepekan pun terbuang.
Menanggapi permohonan Swie Teng, Hakim Ketua Sutiyo Jumadi menuturkan akan berkoordinasi dengan tim jaksa KPK. "Walau kewenangan majelis unuk memindahkan rutan tapi jaksa sebagai eksekutor, kami akan berkoordinasi. Kalau jaksa menyetujui, nanti kami akan koordinasikan," kata Sutiyo.
Pertimbangan hakim dan jaksa, persidangan kasus korupsi yang sedang diusut harus selesai kurang dari sembilan bulan. Efisiensi waktu pun dibutuhkan. Perjalanan dari Rutan Salemba menuju Pengadilan Tipikor dinilai membutuhkan waktu yang lebih lama ketimbang dari Rutan KPK.
Mencari jalan tengah, jaksa mengusulkan pemindahan ke Rutan Guntur KPK. "Untuk kepentingan pemeriksaan di persidangan, perhitungan lebih dekat, ada KPK cabang Guntur, udaranya mungkin lebih baik. Posisi rutan juga lebih dekat ke pengadilan. Tapi kami menyerahkan ke hakim," ujarnya.
Swie Teng ditetapkan sebagai tersangkalantaran merintangi penyidikan dan memengaruhi saksi-saksi di persidangan. Surat perintah penyidikan dikeluarkan pada 26 September 2014, empat hari sebelum dia akhirnya dijemput paksa.
Cahyadi tersangkut kasus tukar guling hutan Bogor karena diduga menyuap bekas Bupati Bogor Rahmat Yasin untuk mewujudkan ambisinya membangun kota satelit Jonggol City. Ijon itu diserahkan kepada Rahmat untuk mempercepat terbitnya rekomendasi tukar-menukar kawasan hutan atas nama PT BJA seluas 2.754 hektare.
Dia dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(rdk)