Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar modus lawatan Polri dan sejumlah rekanan proyek simulator Surat Izin Mengemudi ke Singapura. Lawatan diduga untuk mencari tahu dan survei harga pembuatan simulator untuk roda dua dan roda empat tahun 2011.
Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, Budi Susanto, ditengarai menjadi dalang manipulasi pembuatan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) proyek yang mencapai Rp 200 miliar tersebut. Budi menjadi salah satu anggota tim lawatan tersebut. Namun, dalam persidangan sebagai saksi untuk terdakwa korupsi simulator SIM Brigjen Didik Purnomo, Budi menyangkalnya.
"Kunjungan ke Singapura itu adalah untuk melihat sekolah mengemudi, bukan untuk pembuatan simulator. Itu sekolah mengemudi, ada tentang lampu merah dan bagaimana menjadi pengemudi yang benar. Saya tidak pernah menanyakan hal lain," kata Budi ketika bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (12/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi mengaku kunjungan yang digelar pada Januari 2011 tersebut bukan untuk studi banding melainkan melihat contoh alat simulator SIM roda dua dan roda empat. Padahal, merujuk berkas dakwaan, kunjungan dilakukan atas perintah Irjen Djoko Susilo sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) proyek tersebut.
"Saya bersama Teddy Rusmawan (Ketua Panitia Pengadaan), Sukotjo Bambang (Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia), ada Heru Trisasono (anggota panitia pengadaan), dan Tedjo dari Astra," ujar Budi.
Kesaksiannya menimbulkan keganjilan. Pasalnya, lawatan Korlantas Polri dilakukan bersama dengan tiga perusahaan otomotif sebelum proyek pengadaan digelar. "Kenapa bisa ikut orang Korlantas Polri tapi pengadaan belum dimulai?" cecar jaksa.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Budi tak mau mengaku dirinya banyak mengenal orang dalam Korlantas. Alih-alih demikian, dia justru membuat kesaksian versinya sendiri. "Saya hanya kenal Pak Tedjo dari Honda. Saya diajak beliau. Pak Tedjo kenal dengan orang Korlantas," katanya.
Dalam lawatan tersebut, jaksa mendakwa adanya niatan untuk mencari tahu harga pembuatan simulator sim untuk menjadi rujukan pembuatan HPS. Budipun mengkuinya. Namun, dia berdalih bukan dirinya yang mencari tahu dan menanyakan harga pembuatan simulator SIM terebut.
"Kalau tujuannya untuk kasus saya tidak tahu, hanya Teddy menanyakan harga. Bukan saya. Teddy yang menanyakan harga karena dapat kabar pembuatan di Singapura lebih murah," ucapnya. Namun, ternyata pembuatan simulator SIM di Singapura jauh lebih mahal dari informasi yang diterima.
"Ternyata lebih mahal dari perkiraan, roda dua Rp 500 hingga 600 juta kalau roda empat Rp 1,3 miliar," katanya.
Sekembalinya dari Singapura, Budi didakwa ikut serta dalam pembuatan HPS pada proyek tersebut. Padahal, HPS seharusnya digarap oleh Pejabat Pembuat Komitmen proyek sekaligus terdakwa korupsi, Didik Purnomo. Menanggapi dakwaan jaksa, Budi menyangkalnya kembali.
"Saya tidak menindaklanjuti apa-apa karena saya tidak punya misi apa-apa. Saya tidak mau ngomong itu karena kerjaan saya bukan simulator, saya kerjakan yang lain," ujarnya.
Merujuk berkas dakwaan, Budi diduga bersama dengan Djoko Susilo menjadi otak dibalik proyek tersebut, termasuk dalam pembuatan HPS. Sementara itu, Didik selaku PPK dinilai lalai lantaran tak melakukan kewajibannya untuk membuat HPS dan tak mengecek rincian HPS yang ditandatanganinya. Alhasil, HPS justru menggelembung tak wajar.
Atas tindakan tersebut, Didik dinilai lalai yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp 121 miliar. Didik didakwa menikmati duit panas senilai Rp 50 juta dan memperkaya orang lain yakni Djoko Susilo (mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri) sebesar Rp 32 miliar, serta Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Santosa sebesar Rp 93,381 miliar.
Selain itu, pihak lain yang diindikasikan menerima duit panas yaitu Sukotjo Bambang sebesar Rp 3,9 miliar dan bagian keuangan Mabes Polri Darsian senilai Rp 50 juta. Atas tindak pidana yang dilakukan Didik dan pihak lain, negara merugi Rp 121,83 miliar.
Didik dijerat Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Ancaman hukuman bagi Didik yakni 20 tahun penjara.
(utd)