Jakarta, CNN Indonesia -- Kejaksaan Agung sedang melakukan pemeriksaan medis terhadap terpidana mati asal Brasil Rodrigo Gularte yang disebut mengidap penyakit skizofrenia. Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, pendapat medis lain dibutuhkan untuk memastikan rekam medis terpidana yang segera dieksekusi tersebut.
"Sedang akan kami lakukan. Kalau ada yang mengatakan gangguan jiwa, kami akan minta
second opinion karena yang meminta adalah penasihat hukum yang bersangkutan," kata Prasetyo di Jakarta, Rabu (25/2).
Prasetyo menegaskan, penundaan eksekusi hanya dilakukan terhadap perempuan yang tengah hamil dan anak di bawah umur 18 tahun. Dia pun memastikan persiapan pelaksanaan eksekusi mati periode kedua tahun ini telah mencapai 90 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang belum adalah pemindahan, koordinasi penyiapan regu tembak, persiapan pelaksanaan eksekusi serentak," ujar Prasetyo.
Namun mantan politisi Partai NasDem itu menolak menyebut tenggat waktu pelaksanaan eksekusi terhadap total 10 terpidana mati. Prasetyo mengaku masih menanti laporan dari tim yang bertugas di lapangan terkait kesiapan tersebut.
Gularte ditangkap petugas Bea dan Cukai Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta, Banten, pada 31 Juli 2004. Gularte dan dua rekannya kedapatan menyembunyikan 19 kilogram kokain di papan selancar hasil modifikasi yang dia bawa.
Kokain tersebut akan dijual kepada warga asing yang sering meramaikan klub malam dan diskotek di Bali. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang memvonis mati Gularte pada 7 Februari 2005.
Tak terima vonis itu, Gularte mengajukan banding yang dijawab hakim Pengadilan Tinggi Banten dengan menguatkan vonis mati, 10 Mei 2005. Menteri Kehakiman Brasil, Luiz Paulo Barreto, sempat meminta pemerintah Indonesia mengampuni Gularte.
Gularte tak mengajukan kasasi dan langsung mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Tanpa mengindahkan permintaan Brasil, hakim MA yang dipimpin Djoko Sarwoko menolak permohonan Gularte pada 1 Juni 2011.
Aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menilai proses hukum Gularte penuh kejanggalan serta tidak adil sehingga merugikan terpidana.
"Rodrigo tidak didampingi kuasa hukum ketika divonis hukuman mati," kata Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan saat konferensi pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta, Rabu (18/2).
Selain itu, hakim juga dinilai telah mengabaikan masalah kesehatan Rodrigo. "Ia menderita Bipolar dan Schizophrenia sejak berumur 16 tahun. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), orang yang mengalami gangguan kejiwaan tidak boleh dipidana," kata Ricky.
(rdk)