Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, berpendapat Presiden Joko Widodo yang menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 tentang Perluasan Wewenang Kantor Staf Kepresidenan tak bisa diprotes. Presiden bebas dan memiliki otoritas yang penuh dalam membentuk dan mengatur Kantor Staf Kepresidean.
Syamsuddin mengatakan, Presiden Jokowi tidak perlu melibatkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam rapat koordinasi rancangan Perpres tersebut. “Tidak masalah, tak perlu konsultasi dengan Wapres, hak sepenuhnya Presiden,” kata Syamsuddin saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (5/3).
Peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI ini menyatakan otoritas yang dimiliki Presiden Jokowi bersifat tunggal dalam sistem presidensial. “Wakil presiden hanya membantu presiden, tidak mempunyai otoritas, seperti ban serep,” ujar Syamsuddin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syamsuddin menegaskan, Presiden dalam memperluas wewenang Kantor Staf Kepresidenan sama halnya dalam memilih menteri, memiliki hak prerogatif sehingga tidak harus melibatkan Wakil Presiden. Termasuk personel yang mengisi Kantor Staf Kepresidenan.
Dengan demikian, ujar Syamsuddin, siapapun tidak bisa keberatan atau memprotes, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Syamsuddin menambahkan, Jokowi sebagai Presiden membutuhkan Kantor Staf Kepresidenan sesuai dengan otoritas dan kewenangannya untuk sinergisitas sistem kerjanya. Keberadaan Kantor Staf Kepresidenan sama seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang ada pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Perpres Nomor 26 Tahun 2015 tentang Perluasan Wewenang Kantor Staf Kepresidenan mendapat sorotan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Berdasarkan perpres itu, wewenang Luhut Binsar Panjaitan selaku kepala Staf Kepresidenan bakal ditambah. Mantan tim sukses Jokowi itu bakal punya otoritas untuk mengendalikan program prioritas nasional.
JK, yang tak dilibatkan dalam penyusunan perpres tersebut berpandangan, perpres yang ditandatangani Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada Senin (2/2) itu berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan sebab memuat penambahan koordinasi, misalnya Luhut akan punya wewenang memanggil menteri –wewenang yang selama ini hanya dimiliki Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri Koordinator berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
“Saya pasti akan komunikasikan (perpres) ini dengan Pak Presiden,” kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (4/3).
Namun Syamsuddin tak yakin dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan terkait Kantor Staf Kepresidenan bakal punya wewenang memanggil menteri.
(obs)