Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus kekerasan terhadap anak dalam beberapa waktu terakhir semakin meningkat. Tahun 2014 saja, berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), permohonan perlindungan saksi kasus kekerasan terhadap anak mencapai 179 kasus.
Menurut Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, dari banyaknya kasus yang menimpa anak-anak, hanya segelintir saja yang maju hingga pengadilan. Hal ini patut dipertanyakan karena besar kemungkinan adanya tekanan-tekanan yang dialami, baik oleh anak korban maupun anak saksi untuk mengungkap kasus yang dialami maupun diketahuinya.
Apalagi, tindak pidana yang melibatkan anak, biasanya dilakukan oleh kelompok atau disebut sebagai kejahatan terorganisir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari jumlah permohonan yang masuk, kata Abdul, perkara terbagi dalam 144 kasus
trafficking, 16 pencabulan, 11 penelantaran, 5 penganiayaan, dan 3 perkosaan. Dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (
trafficking), di dalamnya juga termasuk klasifikasi tindak pidana pemerasan, perbudakan dan eksploitasi seksual.
“Tak semua saksi atau korban berani bersaksi tentang apa yang diketahui. Untuk itu ada penguatan, pemulihan dan rehabilitasi,” kata Semendawai melalui keterangan tertulisnya yang diterima CNN Indonesia baru-baru ini.
LPSK, kata Semendawai, memberikan perlindungan pada siapa pun, dari yang tua hingga anak-anak. Khusus perlindungan bagi anak-anak, LPSK harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari orang tua.
Masalahnya dalam beberapa kasus, ada orang tua yang tidak memberikan izin karena diduga mereka merupakan pelaku, yang notabene orang terdekat sang anak. “Karena itulah, untuk beberapa kasus ada pengecualian,” ujarnya.
Data korban kekerasanSementara itu, Puji Astuti Santoso dari Direktorat Kesejahteraan Anak pada Kementerian Sosial menilai kekerasan terhadap anak sudah menjadi fenomena global, tak terkecuali di Indonesia. Setidaknya terdapat 80 ribu hingga 100 ribu perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan setiap tahunnya di negeri ini.
Sekitar 30% dari jumlah itu merupakan pekerja seks komersial (PSK) anak yang belum berusia 18 tahun. “Bahkan, ditemukan masih ada (PSK anak) yang 10 tahun,” ungkap Puji.
Puji menuturkan, anak-anak memang sangat rentan terhadap kekerasan fisik, emosi, dan seksual. “Pada sebagian besar kasus, yang menjadi pelaku tidak lain adalah orang-orang terdekat mereka sendiri,” ujarnya.
Karena itulah, lanjut dia, dalam penanganan masalah anak, Kementerian Sosial tidak bisa bekerja sendiri, melainkan dibutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak sehingga upaya memberikan perlindungan pada anak bisa lebih optimal.