Cegah ISIS di RI, UU Anti-Subversi Diusulkan Diterapkan Lagi

Abraham Utama | CNN Indonesia
Kamis, 19 Mar 2015 18:27 WIB
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tak sepakat dengan usul ini. Kunci untuk menangkal ISIS: meningkatkan kekuatan ekonomi rakyat, mengendalikan ketertiban.
Ilustrasi ISIS. (CNN Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Berkembangnya paham radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia memunculkan wacana pembentukan kembali Undang-Undang Anti Subversi. Para warga negara Indonesia yang menjadi ekstremis di Timur Tengah dinilai tak bakal berani pulang jika negara ini memiliki beleid tersebut.

“Kalau Undang-Undang Subversi masih berlaku, Abu Bakar Baasyir tidak mungkin berani pulang ke Indonesia. Tidak bakal ada yang berani menunjukkan eksistensi radikalismenya di dalam negeri,” kata pengamat terorisme yang juga mantan pemimpin Al-Qaeda Asia Tenggara, Nasir Abbas, di Jakarta, Kamis (19/3).

Indonesia pernah memberlakukan Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Ketika itu, beleid tersebut dibuat untuk melapangkan revolusi yang dicanangkan Presiden Soekarno.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan Penetapan Presiden 11/1963 itu, tindakan subversi antara lain merupakan tindakan yang memutarbalikkan, merongrong, atau menyelewengkan ideologi Pancasila atau haluan negara; menggulingkan, merusak, atau merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negara; dan menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan, kegoncangan, atau kegelisahan di masyarakat.

Penetapan Presiden 11/1963 itu melihat subversi dalam konteks politik. "Subversi adalah pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan, suatu kelanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara-cara tertutup, sering juga dibarengi atau disusul dengan tindakan kekerasan yang terbuka (perang atau pemberontakan)," demikian definisi subversi yang terdapat dalam bagian penjelasan beleid ini.

Ancaman hukuman bagi mereka yang melakukan subversi, menurut aturan ini, adalah hukuman pidana mati, penjara seumur hidup, atau minimal pidana penjara selama 20 tahun.

Pascareformasi, Penetapan Presiden 11/1963 ini dicabut melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999. Alasannya, selain menciptakan ketidakpastian hukum, saat itu Presiden BJ Habibie dan DPR memandang aturan tentang pemberantasan subversi bertentangan dengan hak asasi manusia.

Menanggapi usul melawan perkembangan idelogi ekstrem ISIS, Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Irfan Idris mengatakan, hal penting yang dapat dilakukan pemerintah adalah meningkatkan kekuatan ekonomi masyarakat dan mengendalikan ketertiban umum.

"Dibutuhkan early warning system. Pemerintah tidak boleh membiarkan penyakit sosial masyarakat seperti kemisikinan. Ciptakan kenyamanan dan keamanan," kata Irfan.

Menurut Irfan, beberapa warga negara Indonesia yang bergabung dengan kelompok pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi itu tergoda dengan iming-iming kehidupan yang lebih nyaman di markas ISIS.

Polri telah secara resmi meminta pemerintah menetapkan ISIS sebagai organisasi terlarang agar dapat menindak para pendukung dan orang yang terlibat dengan kelompok radikal itu. (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER