Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution mengatakan perlu dilakukan revisi undang-undang agar paham radikal termasuk negara Islam Irak dan Iran (ISIS) tidak menyebar luas dalam masyarakat Indonesia. Pasalnya, antisipasi persebaran ISIS sering terhambat ketiadaan aturan hukum yang berlaku.
Usman menyampaikan kondisi di lapangan selama ini penegak hukum dan intel dinilai sering terlambat mengantisipasi persebaran ideologi ISIS. Padahal menurut Usman, pihaknya sudah melakukan banyak hal hanya saja para simpatisan ISIS tidak bisa dijerat hukum karena memang tidak ada aturan hukum yang berlaku.
"Tahun lalu ada unjuk rasa mendukung ISIS tapi kami mau apa? Ini negara hukum, kalau tidak ada pelanggaran hukum mau ditindak apa," kata Saud di Jakarta, Ahad (22/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saud mengatakan, ada beberapa undang-undang yang harus segera direvisi. Di antaranya adalah UU No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Aturan ini dinilai memberi peluang kepada siapa saja untuk menyampaikan pendapat apapun termasuk paham radikal tanpa batas-batas yang jelas.
"Kalau orang mengatakan dia ISIS tidak ada larangannya. Yang dilarang adalah siapa saja yang menghambat penyampaian aspirasi itu," ujarnya.
Selain itu UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan juga dipandang masih memiliki celah hukum. Yang diatur dalam UU ini hanya ormas yang terdaftar sementara ormas yang tidak terdaftar tidak dapat dilakukan penindakan.
Sanksi yang diberlakukan pun dinilai cukup lemah karena hanya berupa pembekuan maupun pencabutan izin ormas.
Dalam konteks ISIS, kata Saud, aparat tidak bisa menjerat para simpatisan dengan tuduhan makar. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan makar berarti membentuk sebuah negara tandingan. "Sementara ISIS sendiri bukan sebuah negara," katanya.
(utd)