Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ahmad Jazidie berpendapat tidak ada unsur kesengajaan dalam memasukkan materi 'sesat' ke dalam buku Pelajaran Agama Islam (PAI) untuk kelas 11 atau kelas 2 SMA yang beredar di beberapa sekolah di Jawa Timur.
Pada halaman 78 buku PAI disebutkan 'Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain Allah SWT telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh'.
Kata musyrik dan dibunuh ini menjadi kontroversi karena dinilai bisa memicu tindakan radikalisme dan dogma bagi siswa atau guru yang kurang bijaksana memahami pernyataan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tidak lihat ada unsur kesengajaan. Yang ada di sana kutipan artinya di situ diceritakan tokoh pembaharu Abdul Wahab. Kemudian, dicantumkan pendapat beliau," kata Jazidie saat ditemui di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (25/3).
Jazidie mengatakan, bila buku itu dibaca secara keseluruhan maka pembaca akan memahami ungkapan itu bukanlah dogma. "Namun, masalahnya, bagaimana bila peserta didik tidak paham soal kutipan itu," kata Jazidie.
Oleh karena itu, penarikan buku agama tersebut menjadi keputusan Kemendikbud. "Ke depannya, harus lebih hati-hati lagi," katanya.
Ia menjelaskan pengawasan buku tersebut berada di bawah Pusat Kurikulum Buku Kemendikbud. Untuk membuat buku pelajaran siswa, sudah ada tim penulisan buku, mulai dari tahap penyusunan, draf, sampai tahap final.
Di sisi lain, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan berpendapat ada ketergesaan dalam penyusunan buku itu. Ketergesaan itu membuat buku agama tersebut belum sempat dikaji ulang secara lengkap. Adapun, buku untuk Kurikulum 2013 tersebut diterbitkan pada awal 2014.
"Saya telah menunda pelaksanaan kurikulum itu secara masif sejak Desember 2014. Sekarang kami tidak perlu menarik buku itu dari seluruh Indonesia, melainkan hanya dari beberapa sekolah percontohan," katanya.
Ditariknya Kurikulum 2013, kata Anies, menyebabkan sekolah yang menerima buku agama yang mengandung muatan kekerasan itu hanya sedikit.
"Ke depannya, kami tidak akan membuat buku yang fokusnya 'pokoknya harus jadi tanggal sekian'. Kami mau yang dibuatnya benar, dikaji ulang secara lengkap dan bukan asal jadi," katanya.
(utd)