Jokowi di antara Koalisi Merah Putih dan KMP Kalla-Mega-Paloh

Basuki Rahmat N | CNN Indonesia
Jumat, 27 Mar 2015 09:05 WIB
Kalangan DPR dari kubu Koalisi Merah Putih meradang dengan keputusan Yasonna yang membuat posisi Golkar Aburizal Bakrie menjadi terjepit.
Presiden Joko Widodo (kanan) memberikan ucapan selamat kepada Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan (kiri) seusai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (31/12). ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo
Jakarta, CNN Indonesia -- Terbitnya keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar Agung Laksono berbuntut pada terganggunya harmonisasi hubungan antara Presiden Jokowi dengan parlemen. Kalangan DPR dari kubu Koalisi Merah Putih meradang dengan keputusan Yasonna yang membuat posisi Golkar Aburizal Bakrie menjadi terjepit.

Sebagai partai politik besar yang berusia tua, Presiden Jokowi tak bisa memandang sebelah mata pada Golkar. Ditambah posisi Ical sebagai Ketua Presidium KMP. Pun hingga sekarang seluruh partai anggota KMP tetap menganggap Ical sebagai kiblat partai beringin.

Pergerakan politik KMP di Senayan yang sejak awal dicemaskan bakal merecoki jalannya pemerintahan Jokowi sejauh ini tak terbukti. Bahkan tak sedikit keputusan Presiden yang dimuluskan di parlemen. Pengamat politik dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk memandang lancarnya hubungan eksekutif dan legislatif itu tak terlepas dari peran Luhut Binsar Panjaitan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala Staf Kepresidenan yang diangkat sekaligus diberi banyak kewenangan oleh Jokowi itu dikenal mempunyai kedekatan dengan Ical. Luhut juga pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Golkar saat Ical menjabat sebagai ketua umum pada periode lalu.
Dengan posisi Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan memperkuat posisi eksekutif di parlemen.

“Melalui perantara Luhut ini KMP di DPR yang dimotori oleh Ical bisa ‘dilemahkan’ oleh Jokowi,” ujar Hamdi saat berbincang dengan CNN Indonesia, Jumat (27/3).

Tak heran para politikus KMP di parlemen sontak menentang keras keputusan Menteri Yasonna yang menjegal Golkar kepengurusan Ical dengan mengesahkan kubu Agung. “Reaksinya keras-keras semua terhadap Yasonna kan,” tutur pakar psikologi politik ini.

Pengamatan Hamdi diperkuat dengan pernyataan politikus Golkar pendukung Ical, Bambang Soesatyo. Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR ini blak-blakkan menyebut keputusan Yasonna seperti ingin membenturkan Presiden Jokowi dengan partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Bambang mencermati saat ini Jokowi sudah semakin dekat dengan KMP dan ada kelompok yang tidak menyukai hal tersebut.

Tak cuma itu, selain ada upaya pembenturan, Bambang juga menganggap tindakan Yasonna sebagai bentuk pelemahan terhadap partai politik yang tergabung dalam KMP.

Hamdi menyoroti keputusan Yasonna telah membuat keseimbangan antara KMP di DPR dengan Presiden menjadi terusik. “Lobi-lobi Jokowi melalui Luhut kepada Ical dan KMP bisa buyar,” kata Hamdi sembari mengingatkan bahwa jauh sebelum Jokowi menjadi Presiden sudah mempunyai kedekatan dengan Luhut. “Sebelum jadi wali kota Solo perusahaan furnitur Jokowi join dengan perusahaan Luhut yang memasok kayu.”

Namun di sisi lain, keputusan Yasonna tersebut seirama dengan pemerintah namun dari “kubu” Jusuf Kalla, Megawati, dan Surya Paloh. “Istilahnya KMP juga alias Kalla, Mega, dan Paloh,” ucap Hamdi sembari disertai tawa.

Hamdi menyebut pemberian kewenangan pada Luhut yang besar di posisi Kepala Staf Kepresidenan jelas-jelas membuat Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden menjadi gerah. Pun dengan Megawati dan Paloh yang selama ini diketahui sebagai “pemegang” kekuasaan di Istana. Baik Jusuf Kalla, Surya Paloh, dan juga Megawati selama ini pun diketahui memiliki hubungan yang baik dengan Agung Laksono.

Keputusan di Jokowi

Tak bisa dihindari bahwa keputusan Menteri Yasonna yang memenangkan kubu Agung membawa dampak yang luas di panggung politik Tanah Air. Imbas keputusan tersebut juga memunculkan rencana pengguliran hak angket di DPR. Kubu Koalisi Merah Putih yang meradang bakal menyelidiki keputusan Yasonna tersebut.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menyatakan intervensi yang dilakukan pemerintah kepada partai-partai Koalisi Merah Putih bisa membuat proses politik antara DPR dan pemerintah menemui jalan buntu.

Bahkan Fahri juga mengancam bukan tak mungkin parlemen akan mempersulit proses pengangkatan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai sebagai satu-satunya calon Kapolri yang diajukan oleh Jokowi.

Ancaman tersebut membuat Luhut Panjaitan menjadi khawatir. Sebagai orang dalam lingkaran kekuasaan Jokowi, Luhut tak ingin hal itu sampai terjadi. “Kami harapkan enggak lah, kami lihat pelan-pelan. Mudah-mudahan tidak lah ya," kata Luhut baru-baru ini.

Pengamat politik Indo Barometer M. Qodari menilai keputusan Yasonna memang menimbulkan polemik baru dan dampak bagi jalannya pemerintahan Jokowi terkait dinamika politik di DPR. “Keputusan itu telah melahirkan perbedaan persepsi tidak hanya di dua kubu Golkar yang berseteru,” ujar Qodari saat dihubungi CNN Indonesia.

Qodari memandang masalah dualisme kepengurusan Golkar yang sudah diputuskan oleh Kemenkumham memang bukan perkara yang mudah. Apalagi Golkar sebagai partai besar yang mendominasi Koalisi Merah Putih memiliki pengaruh pada pemerintahan Jokowi. “Susah memang dalam melihat persoalan ini, menyangkut perbedaan persepsi dan soal pertemanan juga,” kata dia.

Dengan kondisi yang demikian, pengamat politik UI Hamdi Muluk memandang Presiden Jokowi berada di posisi yang sulit. “Jokowi berada di tengah-tengah dan harus mencari titik tengah atas masalah ini,” tutur Hamdi.

Hamdi menekankan, Jokowi dituntut untuk membuat keseimbangan di antara semua pihak dan segala kepentingan yang ada. “Bagaimanapun balancing of power-nya di Presiden. Jokowi sedang diuji kembali, titik penentunya ada di dia yang berada di tengah-tengah,” ujar Hamdi.

Bisakah Presiden Jokowi memainkan kekuatan penyeimbang melalui peran Luhut atas polemik keputusan Menteri Yasonna. Semuanya pada akhirnya kembali ke Jokowi sebagai pemegang kekuasaan penuh meskipun sistem presidensial yang dianut saat ini masih dianggap setengah hati.

(obs/obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER