Penyelesaian Korban Pelanggaran HAM Berat Tak Jadi Prioritas
Kamis, 02 Apr 2015 10:01 WIB
Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Sumarsih dan aktifis dari Kontras melakukan aksi damai Kamisan di depan Istana Negara, Kamis, 23 Oktober 2014. (CNN Indonesia/ Safir Makki)
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai mengatakan persoalan pemenuhan hak atas korban pelanggaran HAM berat menjadi pekerjaan rumah tangga bangsa Indonesia.
"Namun, mengacu UU 13/2006 jo UU 31/2014, LPSK diberi kewenangan dalam mengupayakan pemenuhan hak dan pemberian bantuan bagi korban kejahatan," kata AH Semendawai melalui pernyataan yang diterima CNN Indonesia, Kamis (2/4).
Mengacu kepada UU tersebut LPSK mendapat kewenangan dalam mengupayakan pemenuhan hak dan pemberian bantuan bagi korban kejahatan. Khusus bagi korban kasus pelanggaran HAM berat, kata Semendawai, akan mendapatkan bantuan medis, psikologis dan psikososial berdasarkan rekomendasi Komnas HAM.
Berdasarkan keterangan dari situs Kemendagri, yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat adalah genosida atau tindakan penghancuran dan pemusnahan sebagain atau seluruh kelompok terkait SARA, kejahatan terhadap kemanusiaan seperti diantaranya pembunuhan, perbudakan, deportasi, perbudakan seksual, kehamilan paksa, sterilisasi paksa dan penculikan atau penghilangan paksa atas seseorang dan kejahatan perang berupa pembunuhan disengaja, penyiksaan tidak manusiawi, penyiksaan yang menyebabkan rasa sakit luar biasa, dan pengrusakan tanpa dasar hukum yang jelas.
AH Semendawai mengatakan LPSK juga akan mengganti kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat tersebut sesuai dengan pasal 7 UU 13 tahun 2006. Sementara itu, kata Semendawai, hak atas restitusi atau ganti kerugian menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
"Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi ini akan ditetapkan oleh pengadilan," kata Semendawai.
Berdasarkan data dari LPSK, Pada awal 2015, lembaga tersebut telah merilis jumlah permohonan yang masuk pada 2014, di mana sepanjang tahun lalu terdapat 1.074 permohonan perlindungan. Dari jumlah itu, sebanyak 981 permohonan telah dibahas dalam Rapat Paripurna LPSK. Hasilnya, sebanyak 685 permohonan diterima dan sisanya 296 kasus ditolak. Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Barat menjadi asal pemohon yang paling mendominasi.
Khusus kasus pelanggaran HAM berat, datang dari pemohon korban pelanggaran HAM tahun 1965. Kasus pelanggaran HAM menjadi yang terbanyak dengan 644 laporan, disusul trafficking 144 laporan, korupsi 43 laporan, kekerasan dalam rumah tangga 3 laporan, tindak pidana pencucian uang 1 laporan dan pidana umum 210 laporan, yang terdiri dari kasus individu, pemerkosaan, kekerasan kolektif dan aparat. (utd)
ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
Komisi Yudisial Nyatakan 3 Hakim Kasus Tom Lembong Langgar Kode Etik
Nasional • 3 jam yang laluRumah Diserobot, Nenek 80 Tahun Diusir Paksa oleh Ormas di Surabaya
Nasional • 1 jam yang laluKetua GBN-MI: Ayu Aulia Tim Kreatif Gerakan Bela Negara, Bukan Kemhan
Nasional • 4 jam yang laluKapolda Sulsel: Tak Ada Izin Pesta Kembang Api Tahun Baru 2026
Nasional • 3 jam yang laluFOTO: Ziarah Tak Burujung 21 Tahun Korban Tsunami Aceh
Nasional • 1 jam yang laluLAINNYA DARI DETIKNETWORK