Usut Kasus Benjina, Jokowi Minta Polri Bentuk Satgas Terpadu

Resty Armenia | CNN Indonesia
Selasa, 07 Apr 2015 17:29 WIB
Wakapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti mengatakan Satgas Terpadu dibentuk untuk mengusut tuntas dugaan perbudakan dan penangkapan ikan ilegal.
Petugas menunjukkan bekas luka salah satu Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Maluku, Sabtu (4/4). (AntaraFoto/Humas Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pihak kepolisian untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Terpadu demi mengusut tuntas kasus penangkapan ikan ilegal dan perbudakan yang terjadi di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Hal itu disampaikan oleh Wakapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti.

"Harus tuntas. Ada kasus penangkapan ikan ilegal, dugaan perbudakan dan tindakan hukum lain. Semua harus dilakukan dengan baik, cepat, tuntas. Maka dibentuk Satgas Terpadu," ujar Badrodin di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (7/4).

Ia menyampaikan, selama ini pihak kepolisian telah memproses secara hukum segala tindakan yang mengarah pada kriminalitas, termasuk perbudakan, yang telah menuai perhatian publik baik nasional maupun internasional.

"Mungkin keluhannya ada dari aparat wilayah perairan tapi Mabes sudah turun. Mungkin yang di sana bisa saja terpengaruh dengan pendekatan pihak tertentu. Kalau dari Mabes tidak ada masalah, kami proses secara hukum saja," kata dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Badrodin pun menegaskan Polri tidak akan tebang pilih dalam memberikan hukuman kepada pihak manapun yang merugikan negara, seperti yang dilakukan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) ini.

"Semua kalau melanggar pidana, kami proses," ujar dia. Badrodin mengaku telah mengirim tim untuk menginvestigasi dan mengamati perkembangan kasus ini.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tampak berang dengan pemberitaan di media luar negeri yang menyatakan Pemerintah Indonesia membiarkan terjadinya praktik perbudakan di kapal perikanan.

Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membantah isu tersebut, Susi mengaku telah menerbitkan larangan ekspor bagi ikan milik PT Pusaka Benjina Resources (PBR) yang diduga melakukan praktik perbudakan tersebut.

Tidak hanya itu, Susi juga meminta seluruh kegiatan operasional kapal tangkap milik PBR dihentikan. "Kami sudah mengeluarkan kebijakan, tidak boleh ikan dari PBR keluar. Untuk operasional kapal harusnya sudah tidak bisa," kata Susi kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Kamis (2/4).

Susi mengeluarkan kebijakan tersebut karena PBR diduga melanggar hak asasi manusia dengan cara mempekerjakan pegawai dengan tidak layak dan manusiawi.

"Kami sudah meratifikasi bahwa mempekerjakan orang di atas jam kerja itu termasuk melanggar HAM seorang pegawai. Kemudian para ABK pergi ke Indonesia bukan sukarela mau mereka, ada paksaan," kata Susi.

Susi juga tidak ingin ada pembiaran dalam masalah ini. Jika dibiarkan, maka dirinya terancam melanggar Undang-Undang Organisasi Buruh Internasional (ILO). Ancamannya, produk perikanan Indonesia bisa diboikot dunia.

"Kalau paksaan dan menggunakan agen, itu perdagangan manusia namanya. Kalau Indonesia menganggap itu hal biasa bisa dikutuk dunia internasional," katanya.

Sebelumnya, PBR diduga melakukan praktik perbudakan di kapal ikan yang beroperasi di perairan Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Kasus perbudakan pertama kali diungkap oleh Associated Press (AP) dalam investigasinya yang berjudul "Are slaves catching the fish you buy?" pada 25 Maret 2015. Saat ini KKP dan Tim Satgas Anti Penangkapan Ikan Ilegal tengah mendalami kasus tersebut. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER