Alat Deteksi Narkoba di Lapas Kalah dengan Milik Bandar

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Jumat, 10 Apr 2015 13:14 WIB
Kementerian Hukum menyebut, alat pendeteksi narkoba di penjara kalah jauh dengan fasilitas yang dimiliki para bandar yang mengendalikan narkotik di bui.
Ilustrasi penjara. (Thinkstock/John Mcallister)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengakui bahwa lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan tak memiliki teknologi secanggih para bandar narkoba yang beroperasi di dalam penjara. Alat pengacak sinyal (jammer) yang sudah ada juga tak berfungsi maksimal.

"Peralatan tidak mendukung. Alat deteksi narkoba tidak ada. Kami tidak tahu racikan narkoba seperti itu. Kami punya dimensi lebih kecil, mereka sudah punya satelit," ujar Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemkumham Akbar Hadi kepada CNN Indonesia, Jumat (10/4).

Tak hanya itu, pemasangan alat pelacak sinyal juga menimbulkan komplain dari masyarakat. Hal itu yang semakin membuat petugas kewalahan dalam mendeteksi peredaran narkoba di penjara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akbar menjelaskan, hal lain yang menjadi poin penting yaitu tak ada pelatihan khusus yang diberikan kepada para petugas LP ketika menghadapi kasus peredaran narkotik di LP dan rutan. "Kondisi lapas dan petugas jumlahnya tidak berimbang, seperti di Cipinang ada 2.700 narapidana, sementara petugas 20 sampai 25 orang satu regu," katanya.

Minimnya jumlah petugas terjadi akibat jumlah penerimaan sipir yang sedikit. "Kami berharap petugas lapas yang jumlahnya tidak berimbang, tidak dilakukan moratorium," tuturnya.

Akbar mengaku selama ini banyak masalah yang tak dapat ditangani langsung petugas, termasuk peredaran narkoba.  Untuk mengantisipasi hal tersebut, Kementerian telah bekerja sama dengan TNI untuk merekrut bintara menjadi petugas penjaga.

"Sebagai upaya penguatan kuantitatif dan kualitatif, dibuat MoU (Memorandum of Understanding) dengan TNI supaya bintara yang menjelang pensiun bisa dilimpah menjadi PNS Pemasyatakatan sampai batas usia pensiun di Pemasyatakatan yang lebih panjang, 3-5 tahun," tutur Akbar.

Saat ini, Ditjen Pemasyarakatan tengah menggodok teknis perjanjian kerja sama tersebut. Diharapkan realisasi kerja sama dapat dilakukan dalam waktu dekat. "Petugas belasan tahun tidak ada pelatihan. Kalau ditinggal pelatihan, siapa yang jaga?" kata Akbar.

Dana alokasi yang diberikan untuk pelatihan juga minim. "Idealnya, sebelum mereka masuk, ada pre service trainingg, itu tidak ada. Kalau di kepolisian, sembilan bulan dulu dilatih. Kami tidak ada anggaran," ujarnya.

Selama ini, pelatihan hanya didapat saat petugas memasuki Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP). Meski demikian, tak seluruh penjaga merupakan alumni dari AKIP. "Hanya di AKIP saja, hanya meluluskan 65-70 orang," katanya.

Di AKIP, seluruh siswa didik menggunakan metode semi militer. Sementara Akbar tak memungkiri hingga saat ini fasilitas yang dimiliki oleh LP di Indonesia masih minim. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER