Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Yahya Harahap mengakui bahwa dalam aturan perundang-undangan tak terdapat format pasti mengenai aturan penetapan tersangka.
Menurut Agung, aturan tersebut diserahkan kepada masing-masing lembaga penegak hukum, namun harus berdasar pada ketertiban umum.
"Itu tergantung. Tetapi demi ketertiban, setiap tindakan hukum itu (seharusnya) dituangkan dalam bentuk sesuatu," ujar Yahya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (24/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan tersebut dikemukakan Yahya ketika memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang praperadilan bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik melawan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Saat itu Biro Hukum KPK mempertanyakan apakah masih diperlukan surat penetapan tersangka apabila nama tersangka sudah ditetapkan dalam Surat Perintah Penyidikan.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Yahya memberikan contoh penyelidik yang harus membuat berita acara ketika menjalani proses penyelidikan seperti diatur dalam Pasal 102 ayat 3 KUHAP.
"Bentuk berita acara di dalam KUHAP juga tidak dijelaskan secara pasti bentuknya harus seperti apa," ujar Yahya.
Bahkan ketika belum terdapat keseragaman di lembaga penegak hukum, ujar Yahya, masing-masing lembaga memiliki format laporan atau berita acara yang berbeda.
Oleh karena itu Yahya berpendapat kehadiran surat penetapan tersangka dikembalikan lagi kepada ketentuan yang diatur oleh masing-masing lembaga penegak hukum, termasuk KPK.
Sidang praperadilan Jero Wacik memasuki hari keenam dengan agenda pembuktian dari pihak termohon, KPK. Hakim tunggal Sihar Purba membuka persidangan pada pukul 09.25 WIB.
Yahya hadir di persidangan atas permintaan KPK untuk memberikan keterangan sebagai saksi ahli. Sebelumnya, Yahya juga pernah diajukan sebagai saksi ahli oleh KPK dalam sidang praperadilan melawan bekas Direktur Pertamina Suroso Atmomartoyo dan bekas Menteri Agama Suryadharma Ali pada awal April.
Lex specialis UU KPK di atas KUHAPYahya juga menilai apabila dalam suatu perkara ditemui dua undang-undang yang sama-sama mengatur mengenai suatu perkara, maka UU yang bersifat lex specialis harus diberlakukan secara wajib.
"Kalau berjumpa dengan dua peraturan undang-undang di mana yang satu lex generalis dan satunya lagi lex specialis, dan di situ mengatur hal yang sama, maka yang berlaku adalah lex spesialis," ujar Yahya.
Ia mengatakan hal itu ketika kuasa hukum bekas Menteri ESDM Jero Wacik mempertanyakan maksud dari sifat lex specialis yang terkandung dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Menurut Yahya, UU KPK bersifat lex specialis lantaran kehadiran UU ini sebenarnya bertujuan untuk mengatur secara lebih khusus mengenai tindak pidana korupsi yang belum masuk ke dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang bersifat lex generalis.
Sebagai contoh, aturan mengenai proses penyelidikan dan penyidikan yang sebenarnya sudah termaktub dalam Pasal 102-136 KUHAP.
Namun Pasal 36 ayat 1 UU KPK menyebutkan “Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Pengecualian di kalimat terakhir tersebut menjadikan pemberlakuan UU KPK wajib dikedepankan dan "Ketentuan atau yurisdiksi di dalam undang-undang itu (KUHAP) harus dikesampingkan," ujar Yahya.
Sidang praperadilan Wacik memasuki hari keenam dengan agenda pembuktian dari pihak termohon, KPK.
(agk)