Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah sekian lama, terpidana mati asal Filipina Mary Jane Fiesta Veloso, akhirnya bakal bertemu sang suami, Michael Cadelaria. Ini adalah pertemuan mereka berdua sejak Mary Jane ditetapkan sebagai terpidana mati.
Kuasa hukum Mary Jane, Ismail Muhammad, saat dihubungi CNN Indonesia, Minggu (26/4), mengatakan dirinta sudah bersama suami Mary Jane bersama dengan keluarganya lengkap, yaitu ayah, ibu, kakak perempuan serta dua buah hatinya. Dalam rombongan itu, ada pengacara Mary Jane dari Filipina serta perwakilan dari Filipina.
“Ini kami sedang di Dermaga Wijayapura hendak menyeberang ke Cilacap,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertemuan ini, lanjut Ismail, akan menjadi pertemuan pertama Mar Jane dengan suaminya tersebut. Ismail menjelaskan, suami Mar Jane baru tiba dari Filipina di Cilacap pada Sabtu (25/4) malam. Begitu tiba, langsung bersiap menyeberang ke Nusakambangan. (Baca juga:
Keluarga Terpidana Mati Mary Jane Tiba di Nusakambangan)
Ismail mengaku belum sempat berbicara dengan suami Mary Jane. Penyebab utamanya adalah sang suami tidak bisa berbahasa Inggris. Satu-satunya bahasa yang dikuasi sang suami adalah Tagalog. “Belum sempat saya. Dia (suami Mary Jane) hanya bisa Tagalog,” jelasnya. (Baca juga:
Pelukan Mary Jane Bagi Ayah dan Dua Anaknya)
Mary Jane Fiesta Veloso ditangkap di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta tahun 2010 silam. Ia kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin. Atas kasus ini, ia divonis hakim Pengadilan Negeri Sleman hukuman mati. Mary sempat mengajukan pengampunan, namun permohonan grasi yang diajukannya telah ditolak oleh Presiden melalui Keppres Nomor 31/G tertanggal 31 Desember 2014.
Saat ini, sepuluh terpidana mati tersebut telah lengkap berada di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Para terpidana mati juga telah diisolasi. Mary Jane kini mendekam di LP Besi. Bersama Mary, tiga terpidana mati lainnya telah lebih dulu menghuni LP tersebut, yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran asal Australia, serta Raheem Agbaje Salami asal Nigeria.
Sementara itu Serge Areski Atlaoui asal Prancis, Rodrigo Gularte asal Brasil, dan Zainal Abidin warga Indonesia, berada di LP Pasir Putih. Tiga terpidana lainnya, yakni Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa dan Okwudili Oyatanze asal Nigeria, serta Martin Anderson alias Belo asal Ghana berada di LP Batu.
Korban KDRT dan Human Trafficking
Mary Jane Fiesta Veloso, sebut Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Yuniyanti Chuzaifah merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan manusia (human trafficking).
Mary Jane, cerita Yuniyanti berasal dari keluarga miskin di Filipina. Mata pencaharian utama keluarganya adalah pengumpul dan penjual barang bekas. Mary Jane hanya menempuh pendidikan hingga tingkat sekolah menengah pertama (SMP) kelas I, lalu putus sekolah.
Mary Jane kemudian menikah dini pada usia 16 tahun. Ia menjadi korban KDRT yang kemudian terpaksa mengambil alih peran kepala keluarga. "Ia kemudian menjadi buruh migran di Dubai dan pernah hampir diperkosa di sana," kata Yuniyanti, Jumat (24/4)
Peristiwa itu mengakibatkan Mary Jane dirawat di rumah sakit selama satu bulan sebelum memutuskan kembali ke negara asalnya. Dia kembali lagi menjadi pekerja migran. "Mary Jane kemudian direkrut oleh tetangga suaminya, Maria Kristina P. Sergio untuk bekerja ke Malaysia sebagai pekerja rumah tangga (PRT) secara ilegal," ujarnya. (Baca juga:
Surat Terpidana Mati Mary Jane untuk Presiden Jokowi)
Mary Jane membayar biaya keberangkatan dengan menyerahkan motor dan telepon genggamnya senilai 7.000 peso pada Kristina, dengan perjanjian ia akan dipekerjakan sebagai PRT di Malaysia. Kekurangan biaya, sebut Yuniyanti akan dibayar dengan pemotongan tiga bulan gaji saat bekerja.
"Mary Jane kemudian diminta oleh perekrutnya untuk ke Indonesia dengan janji akan segera diperkerjakan setelah kembali sepulang dari Indonesia. Namun ia ditipu dan malah dijadikan kurir narkotika," kata Yuniyanti menjelaskan.
Yuniyanti menjelaskan Mary Jane diberikan tas untuk menyimpan pakaian dan peralatan pribadinya, di mana tanpa sepengetahuannya telah dimasukkan heroin seberat 2,6 kilogram. "Mary Jane adalah ibu dari dua orang anak dan eksekusi mati ini akan sangat menyakitkan bagi keluarganya," kata Yuniyanti.
Ia berpendapat apa yang dialami Mary Jane tidak lepas dari kemiskinan yang membelenggunya. "Mary Jane bahkan sempat bertanya mengapa kawannya di Thailand tidak dihukum seberat dirinya padahal kedapatan membawa narkotika lebih banyak. Mary Jane bertanya apakah semua yang dialaminya ini karena dia miskin?" ujar Yuniyanti.
Di lembaga pemasyarakatan, menurut Yuniyanti, Mary Jane dikenal sebagai individu yang baik. Ia aktif mengikuti lomba voli dan mengaku senang bisa makan tiga kali sehari.
"Semua orang simpatik padanya. Bahkan, anggota lapas mengumpulkan uang untuk Mary Jane demi mendatangkan ibundanya apabila benar ia akan dieksekusi mati," tutur Yuniyanti.
Baca Fokus:
Eksekusi Mati Kian Dekat (hel)