Aktivis: Pemerintah Jokowi-JK Tutup Mata Tegakkan HAM

Ranny Virginia Utami | CNN Indonesia
Minggu, 26 Apr 2015 17:24 WIB
Para aktivis HAM dan anti hukuman mati menyebut Jokowi telah mengingkari janji kampanyenya di mana salah satunya adalah penghormatan HAM.
Konferensi pers Komnas Perempuan, Komnas HAM, AICHR, dan ACWC menentang eksekusi mati terhadap Mary Jane di Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (24/4).(CNNIndonesia/Yohannie Linggasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati kembali menuntut pemerintah Indonesia untuk menghentikan rencana eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba. Menurut para pegiat hak asasi manusia ini, Indonesia telah menutup mata atas hak hidup para terpidana yang seharusnya dihormati selayaknya manusia.

"Kami kecewa dengan Presiden Joko Widodo. Pemerintahan Jokowi-JK justru memilih langkah mundur terhadap kemajuan hak asasi manusia bagi negara beradab," ujar Direktur Imparsial, Al Araf saat diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (26/4).

Lebih jauh Al Araf menyatakan bahwa Presiden Jokowi telah mengingkari janji saat kampanye pemilihan umum tahun lalu. Dalam kampanyenya, Jokowi mengungkapkan program Nawacita yang salah satunya adalah penghormatan terhadap HAM.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bicara mengenai HAM adalah berbicara tentang hak untuk hidup. Apabila itu direnggut maka pemerintah Jokowi telah gagal memahami HAM," ujar ketua advokasi di IKOHI (Ikatan Orang Hilang Indonesia), Daud Beureuh dalam kesempatan yang sama.

Menurut Daud, program revolusi mental yang dulu diagung-agungkan Jokowi saat kampanye belum memunculkan implementasi nyata hingga sekarang. Ia berpendapat Jokowi justru semakin terlihat buruk karena mengelaborasi kejahatan dengan hukuman mati.

"Bicara proses hukum soal narkotik, seharusnya Presiden Jokowi menunjukkan revolusi mental terhadap aparat penegak hukum," ujar Daud.

Sependapat dengan Daud, Direktur ILRC (The Indonesian Legal Resource Center) Uli Paruliam justru lebih tajam lagi dengan mengatakan pemerintahan Jokowi-JK sarat pencitraan karena terlalu mengedepankan penegakan hukum dibanding HAM.

"Presiden Jokowi lebih mengedepankan pencitraan. Ini berbahaya karena ia tidak melihat fakta yang sebenarnya bahwa ada proses persidangan yang salah dan lain sebagainya," ujar Uli.

Proses Persidangan Dinilai Cacat Hukum

Para pegiat anti hukuman mati ini menilai sistem penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna. Masih kerap ditemukannya praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dalam lingkungan aparat penegak hukum menjadikan keadilan di Indonesia masih timpang sebelah.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Febionesta memberikan satu contoh kasus penegakan hukum yang dinilai cacat, yakni kasus terpidana mati narkotik asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso.

Menurut Febionesta, penegakan hukum terhadap Mary Jane memiliki beberapa kejanggalan, mulai dari pemeriksaan hingga persidangan.

"Saat pemeriksaan, tertulis Mary Jane didampingi penasehat hukum yang ditunjuk oleh kepolisian Yogyakarta. Namun faktanya, mereka hanya bertemu saat persidangan," ujar Febionesta.

Lebih lanjut Febionesta menceritakan, dalam proses penyidikan dan persidangan Mary Jane ditemani oleh penerjemah bahasa Inggris yang ditunjuk oleh penasehat hukumnya. Belakangan diketahui penerjemah tersebut ternyata masih menjadi mahasiswa sekolah bahasa di Yogyakarta.

"Selama persidangan Mary tidak tahu apa yang sebenarnya dituduhkan karena ia tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Bahasa yang dikuasai Mary hanya bahasa Tagalog," ujar Febionesta. (Baca juga: Komnas Perempuan Sebut Mary Jane Korban KDRT dan Trafficking)

"Ketika Mary Jane ditanya oleh hakim, 'Apa Anda merasa menyesal?' Mary Jane menjawab, ‘Tidak'. Kami menemukan sesungguhnya Mary Jane ini memahami pertanyaan hakim itu 'Apakah Anda merasa bersalah?'," ujar Febionesta melanjutkan.

Atas dasar jawaban itulah, Febionesta katakan, hakim mempertimbangkan dan memvonis Mary Jane lebih berat dari tuntutan jaksa, yaitu hukuman mati. (Baca juga: Surat Terpidana Mati Mary Jane untuk Presiden Jokowi)

Febionesta mengakui selama dirinya berkecimpung di LBH, banyak kasus yang melibatkan warga negara asing itu sangat rentan untuk tidak dipenuhi hak mendapat penerjemah.

"Dalam temuan LBH, penasehat hukum Mary saja tidak menjalankan tugas secara profesional dan hanya bersifat formalitas," ujar Febionesta.

Padahal mengacu pada Pasal 51 KUHAP, untuk mempersiapkan pembelaan: (a) tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai, dan (b) terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.

Seperti diketahui, upaya hukum Peninjauan Kembali pertama yang diajukan oleh Mary Jane ditolak oleh Mahkamah Agung, Selasa (22/4) lalu. Kuasa hukum Mary Jane kemudian berencana akan mengajukan kembali PK kedua pada Senin (27/4) esok. (Baca juga:Pelukan Mary Jane Bagi Ayah dan Dua Anaknya)

Namun, santer beredar kabar proses eksekusi mati terhadap sepuluh terpidana mati narkoba, termasuk Mary Jane, akan dilangsungkan dalam waktu dekat, setelah PK kedua terpidana asal Indonesia, Zainal Abidin diputus Senin esok.

Saat ini, perwakilan negara dari 10 terpidana mati dan keluarga mereka telah berada di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, untuk dipertemukan dengan para terpidana.

Sepuluh terpidana mati kasus narkoba yang masuk gelombang eksekusi kedua ini di antaranya adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dari Australia, Okwudili Oyatanze, Silvester Obiekwe Nwolise dan Raheem Agbaje Salami dari Nigeria, Rodrigo Gularte dari Brasil,  Sergei Areski Atlaoui dari Perancis, Martin Anderson dari Ghana, Zainal Abidin dari Indonesia, dan Mary Jane Fiesta Veloso dari Filipina.

Baca Fokus: Eksekusi Mati Kian Dekat (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER