Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga non-pemerintah SETARA Institute menilai keputusan Indonesia untuk tetap menjalankan proses hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba akan mengganggu upaya Indonesia untuk menjadi anggota permanen di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
"Indonesia akan mengalami hambatan dalam meraih dukungan dalam upaya reformasi DK PBB," ujar Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi melalui keterangan pers yang diterima CNN Indonesia, Sabtu (25/4). (Baca juga:
Tuntut Reformasi PBB, Jokowi: Masa Depan Dunia di Asia-Afrika)
Isu reformasi DK PBB mencuat dalam pembahasan di markas PBB, New York beberapa waktu lalu. Salah satu negara, yaitu Afrika Selatan mengusulkan perlunya perluasan anggota DK PBB dengan menambah dua anggota permanen dengan hak veto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Isu ini pun kemudian menjadi bola panas yang bergulir di meja diskusi Konferensi Asia-Afrika 2015 di Jakarta, Minggu (19/4) dan Senin (20/4) kemarin.
Indonesia sendiri memiliki sikap menyetujui adanya reformasi ini dan gencar melakukan pembahasan bersama beberapa negara agar mendapat dukungan menjadi anggota permanen DK PBB.
Namun, Hendardi berpendapat Indonesia akan kesulitan mendapat dukungan, khususnya dari negara anggota permanen DK PBB.
"Perancis (misalnya), sebagai salah satu anggota permanen DK PBB yang berpotensi menolak keanggotan Indonesia," ujar Hendardi.
Penolakan ini berkaitan dengan sikap pemerintah Indonesia yang tidak menghiraukan permintaan maaf dari Perancis terhadap seorang warga negaranya, Serge Areski Atlaoui. (Baca juga:
Perancis Kecam Rencana Eksekusi, RI Harus Upayakan Diplomasi)
Seperti diketahui, Serge bersama dengan sembilan terpidana mati kasus narkoba lainnya kini tengah berada di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Sejak Sabtu kemarin, perwakilan negara dari 10 terpidana mati dan keluarga mereka juga telah berada di sana untuk dipertemukan dengan para terpidana. (Baca juga:
Pemerintah Tak akan Respons Lobi Eksekusi Mati di KAA)
Sepuluh terpidana mati kasus narkoba yang masuk gelombang eksekusi kedua ini di antaranya adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dari Australia, Okwudili Oyatanze dan Silvester Obiekwe Nwolise dari Nigeria, Rodrigo Gularte dari Brasil, Raheem Agbaje Salami dari Spanyol, Sergei Areski Atlaoui dari Perancis, Martin Anderson dari Ghana, Zainal Abidin dari Indonesia, dan Mary Jane Fiesta Veloso dari Filipina.
(hel)