Amnesty International: Jokowi Masih Bisa Batalkan Eksekusi

Ranny Virgiani Utami | CNN Indonesia
Minggu, 26 Apr 2015 15:52 WIB
Amnesty International menyebut kejahatan narkoba bukan termasuk sebagai kejahatan serius yang pelakunya perlu dihukum mati.
Aktifis Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) berorasi saat aksi damai di Bundaran HI, Jakarta, Minggu, 26 April 2015. JBMI mengecam ketidakadilan dan diskriminasi hukum di Indonesia, eksekusi Mary Jane adalah bukti tidak adanya toleransi dan keberpihakan pemerintah kepada rakyat miskin yang sejatinya adalah korban penipuan dan perdagangan manusia. (CNNIndonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Berbagai komentar, seruan hingga ancaman terkait proses eksekusi mati yang akan dilangsungkan pemerintah Indonesia terhadap sepuluh terpidana mati narkoba dalam waktu dekat kian bergulir, salah satunya dari organisasi HAM Amnesty International.

"Masih belum terlambat bagi Presiden Joko Widodo untuk membatalkan eksekusi ini dan menetapkan moratorium atau menghapuskan hukuman mati," ujar Direktur Peneliti Amnesty International Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Rupert Abbott dalam keterangan pers yang diterima CNN Indonesia, Minggu (26/4). (Baca juga: Jokowi Kaget Ada Dua WNI Dipancung di Arab Saudi)

Abbott sangat menyayangkan keputusan pemerintah Indonesia untuk tetap menjalankan proses eksekusi ini. Ia menilai, kejahatan narkoba bukan termasuk sebagai 'kejahatan sangat serius' yang perlu ditindaklanjuti dengan hukuman mati, mengacu pada hukum internasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hukuman mati dapat mencegah kejahatan lebih efektif dibanding dengan hukuman lain," ujar Abbott.

Apabila Indonesia tidak membatalkan eksekusi mati terhadap para terpidana tersebut, menurut Abbott, Indonesia dianggap telah melanggar ketentuan standar dan hukum hak asasi manusia internasional.

"Perlindungan internasional secara jelas menyatakan eksekusi tidak dapat dilakukan jika ada upaya hukum yang sedang berjalan. Selain itu, hukum internasional juga melarang penggunaan hukuman mati terhadap mereka yang cacat mental atau intelektual," ujar Abbott.

Seperti diketahui, saat ini terpidana mati asal Indonesia, Zainal Abidin masih menunggu putusan Peninjauan Kembali (PK) kedua di Mahkamah Agung. Rencananya, putusan ini akan dibacakan pada Senin (27/4) esok, menurut juru bicara MA Suhadi.

Selain itu, kuasa hukum terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso juga masih akan mengajukan PK kedua usai PK pertamanya ditolak, Selasa (22/4) lalu. (baca juga: Pelukan Mary Jane Bagi Ayah dan Dua Anaknya)

Sementara untuk kasus terpidana mati asal Brasil, Rodrigo Gularte, yang diduga mengidap ganggguan mental atau skizofrenia, pihak Kejaksaan Agung memutuskan akan tetap mengeksekusi pria tersebut. Keputusan ini diambil berdasarkan hasil pemeriksaan dokter yang dijadikan sebagai testimoni kedua pihak Kejagung. (Baca juga: Jaksa Agung Harus Transparan atas Opini Kedua Rodrigo Gularte)

Seperti diberitakan sebelumnya, Zainal, Mary dan Rodrigo bersama dengan tujuh terpidana mati kasus narkoba lainnya kini tengah berada di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Sejak Sabtu kemarin, perwakilan negara dari 10 terpidana mati dan keluarga mereka juga telah berada di sana untuk dipertemukan dengan para terpidana.

Sepuluh terpidana mati kasus narkoba yang masuk gelombang eksekusi kedua ini di antaranya adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dari Australia, Okwudili Oyatanze dan Silvester Obiekwe Nwolise dari Nigeria, Rodrigo Gularte dari Brasil, Raheem Agbaje Salami dari Spanyol, Sergei Areski Atlaoui dari Perancis, Martin Anderson dari Ghana, Zainal Abidin dari Indonesia, dan Mary Jane Fiesta Veloso dari Filipina. 

Baca Fokus: Eksekusi Mati Kian Dekat (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER