Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka masuk ke dalam yurisdiksi praperadilan. Putusan tersebut resmi dikeluarkan pada Selasa (28/4) pagi sebagai hasil putusan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Bachtiar Abdul Fatah.
Menurut kuasa hukum Bachtiar, Maqdir Ismail, putusan ini akan menjadi sumber hukum yang bisa langsung diterapkan bagi siapapun yang merasa penetapan tersangka dirinya tidak sesuai prosedur.
"Sejak diputuskan ini, ya sudah berlaku ketentuannya. Jadi, penetapan tersangka (sudah masuk) objek praperadilan," ujar Maqdir kepada CNN Indonesia, Selasa (28/4) sore.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada dasarnya, Maqdir menilai, putusan MK ini adalah untuk melindungi hak asasi setiap orang yang merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum ketika ditetapkan sebagai tersangka.
MK yang juga memutuskan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan dua bukti permulaan yang cukup, menjadikan setiap penyidik baik di kepolisian, kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi harus bersikap lebih hati-hati lagi sebelum memberi label tersangka.
"Dua alat bukti itu harus memenuhi semua unsur yang ditersangkakan. Jadi kalau seseorang dituduh korupsi, perbuatan melanggar hukumnya itu minimal harus ada dua bukti permulaan. Kalau merugikan negara, harus ada dua bukti permulaan. Kalau menguntungkan diri sendiri atau orang lain, juga harus ada dua bukti permulaan. Kira-kira begitu," ujar Maqdir.
Putusan MK ini, Maqdir katakan, sudah bersifat final dan mengikat. Sekalipun ada sanggahan dari Mahkamah Agung melalui Surat Edaran, seperti halnya ketika menanggapi putusan Peninjauan Kembali (PK) beberapa waktu lalu, Maqdir mengaku hal itu tidak dapat dilakukan.
"Surat Edaran itu kan nilainya tidak ada secara hukum. Itu lebih kepada kepentingan intern, bukan kepentingan masyarakat banyak. Mereka harus taat kepada hukum karena sudah ada keputusan seperti ini," ujar Maqdir.
Seperti diberitakan sebelumnya, MK telah memutuskan memperluas objek praperadilan yang diatur di dalam Pasal 77 ayat (a) KUHAP yang mencakup penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan untuk diperiksa keabsahannya.
Selain itu, MK juga mengkoreksi Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa 'minimal dua alat bukti' untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, melakukan penangkapan dan penahanan. Sebelumnya, di dalam pasal-pasal tersebut hanya disebutkan 'bukti permulaan yang cukup' tanpa dijelaskan berapa jumlahnya.
Bachtiar sendiri, selaku pemohon uji materi ini, merupakan tersangka kasus normalisasi lahan tercemar minyak atau bioremediasi di Riau pada kurun 2006-2011. Kejaksaan Agung menetapkan Bachtiar sebagai tersangka pada 12 Maret 2012 lalu.
Akan tetapi status tersangka Bachtiar kemudian lepas setelah hakim tunggal Suko Harsono memutuskan penetapan tersangka dirinya tidak sah dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada November 2012.
Meski demikian sejak 17 Mei 2013, Bachtiar kembali ditangkap. Dia divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 200 juta pada Oktober 2013.
(meg)