Jakarta, CNN Indonesia -- Putusan Mahkamah Konstitusi soal penetapan tersangka bisa menjadi objek praperadilan mendapat beragam komentar dari beberapa lembaga penegak hukum, salah satunya dari Kepolisian Republik Indonesia. Polri menilai putusan tersebut merupakan konsekuensi hukum lantaran hukum di Indonesia terus berkembang.
Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Anton Charliyan mengatakan, putusan tersebut bisa menjadi beban sekaligus kemajuan dalam hukum di Indonesia. Kemajuan yang Anton maksud adalah kemajuan penegakan hak asasi manusia.
"Itu ya konsekuensi hukum karena hukum terus berkembang. Memang ini menjadi beban bagi seluruh penegak hukum tapi itu juga merupakan kemajuan luar biasa dalam rangka penegakan HAM," ujar Anton di Bareskrim Polri, Rabu (29/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Anton, Polri mengapresiasi putusan MK itu walaupun nantinya ada konsekuensi yang harus ditanggung. Kali ini, kata Anton, hakim konstitusi melihat upaya paksa bukan hanya soal penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan tapi sudah berkembang menjadi penetapan tersangka dan penggeledahan.
Menurut Anton, hukum di Indonesia telah lebih maju dibanding negara lain. “Mengakomodir apa-apa yang berkembang di masyarakat," kata Anton. Selain itu, lanjut Anton, ketika hakim Sarpin menetapkan kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan membuktikan bahwa hukum itu hidup, bukan statis.
Seperti diberitakan sebelumnya, MK telah memutuskan memperluas objek praperadilan yang diatur di dalam Pasal 77 ayat (a) KUHAP yang mencakup penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan untuk diperiksa keabsahannya.
Selain itu, MK juga mengkoreksi Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa 'minimal dua alat bukti' untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, melakukan penangkapan dan penahanan. Sebelumnya, di dalam pasal-pasal tersebut hanya disebutkan 'bukti permulaan yang cukup' tanpa dijelaskan berapa jumlahnya.
(obs)