Jakarta, CNN Indonesia -- Gelagat kegamangan Presiden Joko Widodo di balik wacana perombakan Kabinet Kerja dinilai tidak terlepas dari adanya konstelasi politik baik di dalam maupun di luar lingkaran Istana.
Hal itu dinilai membuat Jokowi harus mendapat dukungan dalam pembuatan jalan keluar yang kini sedang direncanakannya.
Anggota Komisi XI DPR Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun, menilai kondisi itu tercermin salah satunya dari ruwetnya presiden saat mengganti nama calon Kapolri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mengganti pemimpin Korps Bhayangkara saja, kata dia, butuh energi ekstra bagi Jokowi untuk mengimplementasikan hak prerogatifnya.
"Artinya, ada sebuah konstelasi di balik pemerintahan ini. Presiden jelas butuh dukungan penuh. Konsolidasi inilah yang kita anggap menemukan problem," ujar Misbakhun dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta, Sabtu (9/5).
Menurut Misbakhun, wacana reshuffle kabinet yang muncul dari desakan orang-orang di luar istana, membuat Jokowi belum menunjukkan gelagat atau keinginan untuk membahasnya hingga kini.
Dia juga menilai, perombakan kabinet dianggap terlalu dini untuk diimplementasikan lantaran kesempatan waktu yang didapat jajaran menteri di Kabinet Kerja masih belum cukup untuk membuktikan kinerjanya.
Misbakhun beranggapan, Jokowi tentunya tak ingin dinilai telah salah memilih menteri dengan terburu-buru merombak kabinetnya.
"Tentunya ini akan menjadi problem bagi kinerja pemerintahan. Jangan sampai ini jadi bumerang politik bagi presiden sendiri," ujar Misbakhun.
Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai persoalan yang dihadapi Kabinet Kerja saat ini tidak terlepas dari bentuk tanggungan pekerjaan rumah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya.
"Tapi harus saya akui, implementasi kerja SBY lebih baik dari pemerintahan sekarang. Mungkin karena itu juga tidak terlepas dari konstelasi politik saat ini," ujar Enny.
(meg)