Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat hukum tata negara Refly Harun mengungkapkan akan terjadi kekacauan jika revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang dicanangkan DPR RI terlaksana. Menurutnya pelaksanaan Pilkada 2015 nanti bisa memunculkan banyak gugatan jika hal tersebut benar terjadi.
Untuk mencegah kekacauan semacam itu, Refly pun menganggap pemerintah harus segera mengeluarkan kartu truf yang mereka miliki. Kartu truf yang Refly maksud adalah Presiden Indonesia Joko Widodo sendiri.
"Akan ada kekacauan (jika UU pilkada benar di revisi). Pelaksanaan Pilkada 2015 akan ada banyak gugat menggugat yang tak ada habisnya," kata Refly di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jalan terakhir adalah civil society harus mendesak DPR agar tidak melanjutkan ini (revisi UU Pilkada), lalu kelompok yang tidak setuju dengan revisi di DPR harus menguat agar tarik ulurnya lama. Namun jika tak berhasil maka kartu truf dalam pembentukan UU adalah presiden, jika presiden tak setuju maka UU itu batal," ujarnya menegaskan.
Namun Refly pun mengakui pemerintah tak bisa melulu mengeluarkan kartu truf tersebut terus-terusan. Pertama, kata Refly, kartu truf tersebut bisa habis karena selalu digunakan di awal-awal. Kedua, musuh, dalam hal ini DPR, bisa membalas dengan kartu truf yang serupa.
Kartu truf yang dimiliki DPR, menurut Refly, adalah mereka bisa saja tidak mau membahas jika pemerintah mengajukan revisi UU kepada mereka. "Tapi dalam permainan politik tak bjsa keluarkan kartu truf terus. DPR juga punya kartu truf yaitu tak mau bahas jika pemerintah mengajukan revisi UU," kata Refly.
Saat ini, pimpinan DPR bersama dengan Komisi II kembali melakukan pembahasan mengenai pencalonan untuk Pilkada 2015. Sebelumnya, ada tiga rekomendasi yang dihasilkan dalam rapat Panja Pilkada Komisi II bersama dengan Kementerian Dalam Negeri. Pertama adalah sepakat untuk menggunakan putusan inkrah.
Apabila belum inkrah, usulan berikutnya adalah upaya islah. Upaya ini yang ternyata belum bisa direalisasikan bagi partai beringin ini.
Kemudian, sampai tenggat pendaftaran pencalonan pada 26-28 Juli mendatang, dan belum ada putusan inkrah atau belum terjadi islah, maka diusulkan KPU menggunakan hasil putusan pengadilan terakhir, meskipun belum inkrah.
Awalnya, KPU enggan untuk menerima poin ketiga rekomendasi Panja Pilkada yakni menerima putusan pengadilan terkini meski belum inkrah.
Kendati demikian, rekomendasi tersebut diterima seiring dengan adanya revisi terbatas atas undang-undang mengenai partai politik dan Pilkada yang akan dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Langkah tersebut diambil untuk memberikan payung hukum kepada Parpol yang bersengketa untuk dapat ikut Pilkada.
(sip)