Dua Cara Pemerintah Jokowi Tolak Revisi UU Pilkada

A Bintang Pratama | CNN Indonesia
Sabtu, 09 Mei 2015 15:05 WIB
Salah satu cara menolak revisi UU Pilkada tersebut belum pernah dilakukan pemerintahan sebelumnya lantaran ada etika bernegara yang kental dalam langkah itu.
Sejumlah aktivis dari Kontras berunjuk rasa di depan Bundaran HI, Jakarta, 12 Oktober 2014, terkait putusan UU Pilkada. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana melakukan revisi Undang-Undang Pilkada Nomor 8 tahun 2015. Namun rencana revisi itu disayangkan banyak pihak mengingat langkah itu diambil hanya untuk mempertahankan kepentingan politik semata.

Melihat gelagat DPR tersebut, pengamat hukum tata negara Refly Harun menyebut, pemerintah harus punya cara untuk menolak pembahasan revisi UU Pilkada. Ada dua cara yang bisa digunakan pemerintah untuk menolak yaitu mengirim surat penolakan pembahasan diikuti dengan tidak mengirim menteri sebagai perwakilan pemerintah.

"Penolakan kedua, yaitu menjelang akhir persetujuan saat rapat paripurna maupun sebelum rapat paripurna," kata Refly saat ditemui di Jakarta, Jumat (8/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Refly, kekuasaan seorang Presiden dalam sistem presidensial sama dengan kekuatan 560 wakil rakyat. Untuk itu, jika memang Presiden tidak sependapat dengan rencana DPR, Presiden dapat menggunakan kekuasaan itu untuk tetap menggunakan undang-undang yang telah disahkan saat ini.

"Revisi undang-undang harus dibahas bersama dan jika tidak ada persetujuan maka akan gagal jadi Undang-Undang," ujar Refly.

Menurut Refly, penolakan kedua lebih memungkinkan untuk dilakukan Presiden karena cara tersebut lebih halus.Namun dalam kondisi ada indikasi kepentingan kelompok diutamakan seperti ini, akan lebih baik penolakan oleh Presiden Joko Widodo dilakukan sejak awal pembahasa.

Sayangnya, diakui Refly, penolakan semacam ini belum pernah dilakukan oleh presiden sebelum Jokowi. Alasannya, ada etika kenegaraan yang kental dalam proses penolakan atau penerimaan revisi UU seperti ini.

"Saya mencatat dulu Pak Yusril Ihza Mahendra yang pernah menolak membahas sebuah undang-undang, selebihnya tidak pernah. Ada etika kenegaraan jika menolak maka akan dibalas oleh DPR," kata Refly.

Saat ini, pimpinan DPR bersama Komisi II kembali melakukan pembahasan mengenai pencalonan untuk Pilkada 2015. Sebelumnya ada tiga rekomendasi yang dihasilkan dalam rapat Panja Pilkada Komisi II bersama dengan Kementerian Dalam Negeri.

Pertama, sepakat untuk menggunakan putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht). Apabila belum in kracht, usulan kedua yaitu upaya islah. Langkah ini belum bisa direalisasikan oleh Partai Golongan Karya.

Jika hingga tenggat pendaftaran pencalonan pada 26-28 Juli mendatang belum ada keputusan in kracht atau belum terjadi islah, maka diusulkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggunakan hasil putusan pengadilan terakhir, meski belum ada putusan final dan mengikat.

Awalnya, KPU enggan menerima poin ketiga rekomendasi Panja Pilkada yang meminta agar  menerima putusan pengadilan terkini meski belum in kracht. Namun rekomendasi tersebut tetap diterima menyusul revisi terbatas atas undang-undang partai politik dan pilkada yang akan dilakukan DPR dan pemerintah.

Langkah tersebut diambil untuk memberikan payung hukum kepada partai politik yang bersengketa untuk dapat ikut pilkada. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER