Jakarta, CNN Indonesia -- Sudah 17 tahun berselang semenjak Tragedi Mei '98, namun Maria Sanu (67) hingga hari ini masih takut masuk ke dalam Mal Citra Klender, Jakarta Timur. Trauma karena kehilangan anak laki-lakinya masih melekat dalam dirinya.
"Saya tidak akan mau kalau disuruh masuk ke mal ini. Bahkan, kalau pun saya kebelet kencing, saya memilih cari toilet umum di luar mal ini," kata Maria saat ditemui di sela peringatan Tragedi Mei '98 di pelataran Mal Citra Klender, Jakarta Timur, Selasa (12/5).
Setiap teringat Vanus, -- panggilan akrab Stevanus -- mata Maria berkaca-kaca. Tak tertahankan, ia meneteskan air matanya ketika tengah bercerita kepada CNN Indonesia.
Kala itu, Vanus masih 16 tahun. Karena tengah libur sekolah, ia pun bermain bola bersama kawan-kawannya di lapangan dekat rumahnya di Perumnas Klender. Siang hari pun tiba, ia dan teman-temannya beristirahat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak berapa lama, muncul sekelompok orang yang memberikan informasi bahwa tengah terjadi kerusuhan di Yogya Plaza (kini telah dibangun kembali dengan nama Mal Citra Klender). Sebagai bocah 16 tahun, Vanus pun penasaran dan mengajak teman sepermainannya melihat kejadian itu.
"Namun, teman-teman Vanus menolak. Jadilah Vanus pergi sendiri ke Yogya Plaza. Sampai sekarang jenazahnya belum ditemukan," kata Maria mengenang.
Awalnya, Maria tidak percaya Vanus masuk ke mal dan terbakar di dalamnya. Di hari kelima semenjak Vanus menghilang dan pemakaman massal mulai dilakukan, barulah Maria mulai merelakan anaknya. "Ya, mungkin dia memang terbakar di dalam," kata Maria.
Ia sempat depresi karena kejadian tersebut. Saat 1998, baru dua tahun ia kehilangan sang suami. Dengan pontang-panting, ia berjuang sendiri membiayai sepuluh anak (termasuk Vanus). Tak dinyana, Vanus kemudian pun pergi, sebuah pukulan telak bagi Maria.
Namun, Maria kemudian ikhlas dengan cara terus berdoa dan saling menguatkan dengan para keluarga korban yang lain. "Karena saya seorang Katolik, saya berdoa Rosario secara intens pada bulan Mei. Untuk mendoakan Vanus. Sampai sekarang tidak pernah berhenti," kata Maria.
Merelakan anak bukan berarti Maria pasrah diperlakukan tidak adil oleh negara. Hingga detik ini, Maria masih berjuang dengan keluarga korban lainnya agar pemerintah segera mengakui Tragedi Mei '98 dan bertanggung jawab.
"Waktu kampanye 'kan Jokowi muluk-muluk ngomongin HAM. Kenyataannya sekarang mana?" kata Maria. Setiap Hari Kamis, ia juga bergabung dengan para keluarga korban untuk melakukan aksi diam di Istana Negara yang belum pernah sekalipun digubris oleh sang presiden.
"Banyak keluarga korban yang terpuruk secara ekonomi akibat Tragedi Mei '98. Seharusnya pemerintah bisa bantu mendanai pendidikan dan biaya kesehatan para keluarga korban," ujarnya.
Untuk menyambung hidup, Maria kini berjualan pakaian rajut yang ia buat sendiri. Ia kerap merajut bersama para ibu yang kehilangan anaknya akibat Tragedi Mei '98. "Biasanya, hasilnya kami jual bersama dalam bazar," katanya.
Penguatan diri diperolehnya dari kekuatan komunitas keluarga korban Tragedi Mei '98. Alih-alih terus bersedih, Maria dan para ibu lainnya justru saling menguatkan. "Jangan sampai terpuruk dan jatuh lemah. Kami akan tetap bersatu dalam keadaan apapun," kata Maria kemudian tersenyum. Di usianya yang kini telah senja, Maria masih optimistis perjuangan ini tidak akan berakhir begitu saja.
(pit)