Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno mengkritisi pembagian tugas di dalam eksekutif, terutama antara Presiden dan Wakil Presiden. Menurut dia, Wapres adalah pembantu Presiden dalam arti luas.
“Tidak benar sekarang presiden bagian A, wakil presiden bagian B. Keliru itu," kata dia di acara Kultum Supermentor 6 yang diadakan di Djakarta Theater XXI, Jakarta Pusat, Minggu (17/5).
Try bercerita, tradisi sewaktu dia menjadi Wapres saat Presiden Soeharto berkuasa, ucap dia, adalah tambahan tugas di bidang pengawasan pembangunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hanya di waktu saya (menjabat wakil presiden), (tugas) ditambahi dia (Soeharto). Pengawasan obyek vital strategis, misalnya Indonesia mau meluncurkan satelit," ujar dia.
Try pun bercerita bagaimana proses dirinya terpilih menjadi Wakil Presiden ke-6 pada 1992. Saat itu dia didatangi oleh empat fraksi: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan ABRI.
"Intinya beliau-beliau ini menyampaikan apakah saya bersedia jadi wakil presiden. Kalau waktu itu saya seperti sekarang pasti saya tidak mampu, karena saya tidak ada duit. Saya tidak
bondo apa-apa. Siapa saja yang datang saya terima. Itu pun ada syarat, secara konstitusi harus dibicarakan dulu oleh Presiden terpilih, Pak Harto. Tapi syukur Pak Harto ditanya, langsung diterima," kata dia.
Terkait pemerintahan saat ini, Try mengatakan Republik Indonesia sebenarnya tidak pernah menganut sistem pemerintahan presidensial maupun parlementer. Menurut dia, bapak pendiri bangsa tidak menginginkan sistem pemerintahan yang meniru dari Amerika Serikat dan Eropa itu.
"Indonesia tidak pernah presidensial maupun parlementer. Tidak pernah itu. Karena pendiri negara, Bung Karno, mengingatkan, jangan sampai kita mengambil (sistem pemerintahan) dari luar," ujar Try.
Menurut Soekarno, tutur Try Sutrisno, sistem pemerintahan presidensial meniru Amerika Serikat. Sementara sistem parlementer mencontoh pemerintahan negara-negara Eropa, misalnya Inggris.
(ded/ded)