Catatan di Seputar Momen Kebangkitan Nasional

Rosmiyati Dewi Kandi | CNN Indonesia
Kamis, 21 Mei 2015 23:04 WIB
Catatan panjang aksi mahasiswa Indonesia membentang sejak 1966 hingga sekarang. Namun, misi setiap zaman berbeda antara satu dan lainnya.
Massa pengunjuk rasa membakar ban di depan Gedung Istana Merdeka, Rabu (20/5). (CNN Indonesia/Gilang Fauzi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Istana Negara kedatangan tamu yang tidak biasa. Senin malam, 18 Mei 2015, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari sejumlah universitas di Indonesia bertamu memenuhi undangan Presiden Joko Widodo.

Pertemuan bersela makan malam habis Isya itu hanya berlangsung sekitar dua setengah jam. Cukup untuk membuat Jokowi menjanjikan tiga hal: akan transparan dalam alokasi pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM), kepastian pengelolaan Blok Mahakam mayoritas akan dikuasai negara, dan bakal ada kebijakan harga batas atas untuk BBM.

Janji Jokowi memang tak lantas membuat civitas akademika dari lintas kampus itu puas. Namun dialog yang dihadiri 23 mahasiwa tersebut rupanya cukup untuk menggeser rencana BEM menggelar aksi unjuk rasa yang semula dijadwalkan bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, kemarin, menjadi hari ini, 21 Mei.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alasan perubahan jadwal aksi: khawatir ditunggangi kelompok politik tertentu yang ingin melengserkan Jokowi dan ingin sekaligus memperingati Hari Reformasi dengan turun ke jalan.

"Kami berbeda dengan pergerakan tahun '98 dan '66. Kami tidak ingin gerakan mahasiswa selalu dikaitkan dengan turunnya rezim. Terlalu dini untuk melakukan itu," kata Ketua BEM Universitas Indonesia Andi Aulia Rahman di Kantor Presiden, Jakarta, Senin.

Pernyataan Ketua BEM UI tersebut melemparkan ingatan soal jalan panjang gerakan ekstra parlementer di Indonesia yang seperti mendapatkan momentum pada Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Terutama setelah mahasiswa berhasil menggulingkan kekuasaan Presiden Soeharto pada 1998 lewat serangkaian aksi demonstrasi yang menelan korban jiwa. (Baca juga: Pengunjuk Rasa Bakar Ban di Depan Istana)

Aksi Mahasiswa 1998

Gerakan mahasiswa '98 sebenarnya telah dimulai pada pertengahan tahun sebelumnya, saat gelombang krisis moneter. Kala itu harga kebutuhan meroket, daya beli masyarakat anjlok, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot. Mahasiswa menuntut Soeharto lengser setelah berpuluh tahun berkuasa di bawah panji Orde Baru.

Selama 32 tahun tanpa regenerasi, ternyata belum cukup untuk membuat ekonomi Indonesia mapan. Padahal kekayaan alam tumpah ruah di setiap jengkal tanah air. Tentu saja aksi mahasiswa saat ini berbeda dengan pergerakan mahasiswa tahun 1998 atau 1966, lantaran situasi dan kondisi yang berbeda.

Saat ini, Jokowi belum setahun menjabat presiden, sedangkan Soeharto kala itu telah 32 tahun mengelola kas negara. Jelas sekali perbedaannya. (Simak FOKUS: Di Balik Aksi Kebangkitan Nasional)

Tahun 1997-1998, aksi ekstra parlementer mahasiswa mendapat respons positif dari masyarakat yang ikut merasakan dampak krisis ekonomi. Demonstrasi semakin memanas setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan tarif angkutan umum pada 4 Mei 1998.

Tuntutan massa tak lagi sekadar menggulingkan Soeharto, tapi mendesak agar dia beserta kroninya diadili. Tuntutan yang tak pernah terealisasi hingga kini. Sekali lagi, situasi yang lalu berbeda dengan hari ini.

Kekuasaan Soeharto akhirnya tumbang lewat sebuah pidato yang disaksikan jutaan pasang mata rakyat Indonesia lewat layar kaca. Soeharto meninggalkan kemegahan istana yang telah ditinggalinya selama berkuasa. Langkahnya menandai permulaan era reformasi.

Kondisi politik, hukum, dan ekonomi tanah air usai tergulingnya Soeharto masih terasa berjarak dari kesan memuaskan. Bahkan hingga hari ini, kala reformasi mencapai usia 17 tahun.

Namun sejarah telah mencatat, ada perjuangan yang tak pernah bisa terbayar pada hari-hari di bulan Mei 1998. Hingga kini mahasiswa kerap menjadikan Hari Kebangkitan Nasional sebagai momentum pergerakan pemuda dan mahasiswa dalam menuntut kebijakan pemerintah yang pro rakyat.

Selamanya mahasiswa harus menjalankan fungsi utama sebagai kaum intelektual yang mengawal kebijakan pemerintah. Tanpa perlu merasa takut ditunggangi kelompok tertentu. (sip/dlp)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER