Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah radio kecil menjadi benda pemersatu para tahanan politik dan sipir Rumah Tahanan Salemba pada 21 Mei 1998 silam. Melalui radio para penghuni penjara bersama para penjaga memantau peristiwa di luar soal tuntutan mundur Presiden Soeharto.
Radio tersebut seolah-olah meretas batas tembok tinggi penjara dengan situasi ibu kota yang tengah memanas. Melalui radio itu detik-detik kejatuhan Soeharto dari tampuk kepemimpinan tertinggi di di Indonesia didengar bersama.
Kisah soal radio itu diceritakan Budiman Sudjatmiko yang saat itu menjadi salah satu tahanan politik di Salemba. Ia ditangkap atas tuduhan terlibat dalam kerusuhan 27 Juli 1996 di Jalan Diponegoro, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budiman saat itu adalah Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD), salah satu kelompok yang terus menuntut agar rezim orde baru dan Presiden Soeharto mengakhiri kekuasaanya. (Simak FOKUS:
Mengingat Kembali Reformasi)
Saat Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden 21 Mei 1998, Budiman yang justru sejak awal rajin menggelar aksi menolak Soeharto, sedang dipenjara.
Karena itu ia tak bisa melihat langsung euforia massa saat itu. Ia bersama para tahanan politik lainnya hanya tahu berita gembira tersebut dari radio kecil itu. "Sipir-sipir dan kepala penjaranya datang juga memberikan ucapan selamat," kata Budiman kepada CNN Indonesia.
Bukan hanya para sipir, beberapa tahanan politik lainnya yang ditahan di Salemba juga memberikan ucapan selamat. Saat itu yang mendatangi Budiman untuk mengucapkan selamat adalah pemimpin gerakan pro-kemerdekaan Timor Timur Xanana Gusmao, dan Kolonel Latief yang dituduh terlibat G30S PKI.
Berita lengsernya Soeharto melalui radio itu merupakan puncak penantian Budiman di tahanan. Sebelumnya ia setia mendengarkan radio tersebut mengikuti pergerakan gelombang massa penolakan di luar penjara. (Baca juga:
Budiman: Kematian Jadi Harga Lengsernya Soeharto)
Budiman mengaku sudah memperkirakan bahwa Soeharto bakal jatuh. Perkiraan itu muncul karena adanya peristiwa berdarah di Trisaksti.
"Dari radio kok di Trisakti ada lagu gugur bunga? Kami pikir siapa tokoh yang meninggal. Ternyata mahasiswa Trisakti," jelasnya. (Baca juga:
Prahara Ekonomi Menutup Masa Jaya Sang Jenderal Besar)
Jatuhnya korban jiwa diyakini Budiman akan memunculkan gelombang massa yang besar. "Dari saat itu, kami berpikir ini tinggal hitungan hari Soeharto pasti jatuh," ujarnya.
Padahal sebelumnya Soeharto terus berupaya meredam gejolak di arus bawah dengan menjanjikan pembentukan komite reformasi. Tewasnya mahasiswa Trisakti jadi titik balik dan meluluhkan Soeharto sehingga mau menuruti kemauan massa saat itu.
(sur)