Maksud Pemerintah Bentuk Komite Rekonsiliasi Dipertanyakan

Abraham Utama | CNN Indonesia
Senin, 25 Mei 2015 11:06 WIB
Kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang advokasi hak asasi manusia menyatakan Komite Rekonsiliasi tak boleh menggantikan peran KKR.
Aktivis dari Koalisi Peduli HAM Papua membawa poster dan spanduk saat unjuk rasa di Jakarta, Senin, 15 Desember 2014. Mereka meminta pemerintah untuk mengusut tuntas kasus kekerasan di Papua yang disinyalir dilakukan oleh aparat TNI dan polisi. CNN Indonesia/Safir Makki
Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang advokasi hak asasi manusia mempertanyakan tujuan pemerintah membentuk Komite Rekonsiliasi. Mereka menyatakan, komite tersebut tidak boleh menggantikan peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Ketua Human Rights Working Group Refendi Djamin mengatakan, rekonsiliasi tidak akan terlaksana tanpa pengakuan negara atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM.

"Penekan pemerintah atas komite itu adalah rekonsiliasi, tidak ada upaya pengungkapan keberanan. Ini memang langkah awal yang positif, tapi harus dilakukan secara proporsional. Harus ada lembaga independen yang pembentukannya didasarkan pada undang-undang," ujar Refendi saat ditemui di Jakarta, kemarin. (Baca juga: 17 Tahun Reformasi, Penuntasan Kasus HAM Sebatas Mimpi)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Refendi menuturkan, Komite Rekonsiliasi yang terdiri dari Kejaksaan Agung, Polri, Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Badan Intelejen Negara dan Komnas HAM itu seharusnya hanya bertugas mempersiapkan bahan kerja KKR.

Menurutnya, tiga tugas utama yang seharusnya diserahkan kepada Komite Rekonsiliasi adalah mengumpulkan fakta seputar peristiwa pelanggaran HAM, membuka dokumen negara tentang operasi dan kebijakan pemerintah sepanjang periode peristiwa pelanggaran HAM serta mengindentifikasi korban dan pelaku.

Tak berhenti di Komite Rekonsiliasi, Refendi juga mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang tentang pembentukan KKR. (Baca juga: Jokowi Bentuk Komite Rekonsiliasi untuk Kasus HAM Masa Lalu)

Berkaca pada diskursus HAM dan pengalaman negara-negara yang berhasil melewati masa transisi, hak atas kebenaran dan keadilan, kompensasi serta rehabilitasi korban seharusnya diberikan oleh KKR, sebagai lembaga independen.

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, jika KKR dibentuk oleh peraturan yang levelnya di bawah undang-undang, maka independensinya pun patut diragukan.

Kamis (21/5) lalu, Menko Polhukam Tedjo Edhy memimpin rapat Komite Rekonsiliasi yanv dihadiri Jaksa Agung Prasetyo, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Ketua Dewan Pembina Komnas HAM Jimly Asshiddiqie, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis, Kepala Badan Intelijen Nasional Marciano Norman, dan Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Mualimin Abdi.

Tedjo mengatakan, komite itu nantinya akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Joko Widodo.

Adapun, Prasetyo berkata, Komite Rekonsiliasi memegang tiga poin penting untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM melalui pendekatan non-yudisial.

Pertama, apabila pada proses penyidikan Kejaksaan Agung menemukan pelanggaran HAM, maka nantinya mereka akan membuat suatu pernyataan. "Nanti dikatakan bahwa pelakunya bukan orang-orang tetapi institusi," kata Prasetyo.

Kedua, dengan temuan pelanggaran HAM itu, maka pemerintah akan berkomitmen untuk tidak akan mengulangi kejadian itu di masa mendatang. Ketiga, Presiden atas nama negara menyatakan penyesalan dan meminta maaf kepada publik. (obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER