Jakarta, CNN Indonesia -- Peringatan turunnya Soeharto dari kursi presiden memasuki tahun ke-17. Namun, dampak dari peristiwa yang disebut tonggak reformasi tersebut belum dirasakan kelompok keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia.
"Agenda reformasi belum seluruhnya tuntas. Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah," ucap Maria Catarina Sumarsih kepada CNN Indonesia, Kamis (14/5). Ia menyatakan belum lelah mencari keadilan atas kematian anaknya, Bernardinus Norma Irawan alias Wawan, pada Tragedi Semanggi I akibat peluru aparat.
Sumarsih berkata, reformasi memang berhasil mewujudkan pemilihan umum yang rutin setiap lima tahun sekali. Akan tetapi, menurutnya pemerintahan yang silih berganti belum pernah serius menghukum dalang-dalang di balik rentetan peristiwa berdarah sepanjang tahun 1998.
Menanggapi wacana pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Sumarsih menegaskan penolakannya. Ia menuturkan, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui KKR hanya akan melanggengkan impunitas atau pengampunan bagi para pelaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keluarga korban 98 menuntut penyelesaian melalui pengadilan ad-hoc," ucap Sumarsih.
Di sisi lain, Sumarsih tidak memungkiri perbedaan tuntutan yang diajukan keluarga korban. Ia mengatakan, hampir sebagian besar keluarga korban pelanggaran HAM yang terjadi sebelum 1998 menginginkan rehabilitasi dan kompensasi. Namun, ia dan kolega-koleganya yang kehilangan sanak-saudara pada tahun 1998 bersikukuh mendesak Jokowi membentuk pengadilan HAM adhoc.
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memang memberikan opsi kepada pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 melalui KKR.
Pada tahun 2004 pemerintah dan DPR lantas menerbitkan dasar hukum pembentukan lembaga ini melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. Belum sempat dibentuk, Mahkamah Konstitusi menyatakan beleid tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Melalui putusan bernomor 006/PUU-IV/2006, MK berpendapat undang-undang tersebut tidak dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi para korban terkait mekanisme pemberian kompensasi dan rehabilitasi.
Belakangan, pemerintah kembali berusaha mengimplementasikan mekanisme KKR. Sebuah tim yang terdiri dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian serta Kepala Badan Intelejen Negara dibentuk.
Jaksa Agung Prasetyo memaparkan, fokus tim ini tertuju pada tujuh kasus pelanggaran HAM berat, seperti Peristiwa Talangsari, Kerusuhan Mei 1998 dan Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
"Ini perlu pembahasan mendalam, tapi intinya bagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini bisa diselesaikan tuntas, sehingga beban masa lalu itu bisa kita akhiri tanpa harus menyalahkan satu sama lain," ujarnya, Selasa (24/4).
(sip)