Kamisan, Satu Jalan Menjaga Harapan

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Kamis, 14 Mei 2015 14:42 WIB
Kamisan merupakan satu jalan bagi para keluarga korban untuk terus bersetia menuntut hak mereka. Sekarang sudah 396 Kamis mereka berdiri di depan Istana Negara.
Keluarga korban pelanggaran HAM dan aktifis dari Kontras melakukan aksi damai Kamisan di depan Istana Negara, Kamis, 23 Oktober 2014. Aksi Kamisan yang ke-371 dan bertepatan kepemimpinan pemerintah baru Joko Widodo, mereka meminta dan menagih janji Jokowi terkait penuntasan kasus Pelanggaran HAM berat. (Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Delapan tahun sudah Ruyati Darwin melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta Pusat. Selama itu pula perempuan 67 tahun itu didiamkan oleh pemerintah. Sebuah penantian yang hingga kini belum juga membuahkan hasil.

Ruyati adalah ibu dari Teten Karyana yang merupakan salah satu korban dalam kerusuhan Mei 1998. Teten diperkirakan meninggal dalam kebakaran Yogya Plaza (kini dibangun lagi dengan nama Mal Citra Klender), Klender, Jakarta Timur, pada 17 tahun silam.

Masih terang dalam ingatan Ruyati hari di saat Teten hilang. Saat itu, usia Teten 32 tahun. Ia anak sulung dari enam bersaudara. Pekerjaannya adalah guru bahasa Inggris, ia tulang punggung keluarga. Tak mengherankan, karena sang ayah baru saja dipecat pada tahun sebelumnya.
"Saksi mata melihat Teten masuk ke dalam mal untuk menyelamatkan seorang bocah yang terjebak dalam kebakaran di lantai dasar mal. Anehnya, dompet Teten ditemukan dalam keadaan utuh, tanpa terbakar," kata Ruyati kepada CNN Indonesia, Kamis (14/5).

Kejanggalan tersebut membuat Ruyati merasa gemas. Apalagi, pemerintah belum mengakui Tragedi Mei 1998 hingga kini. Pemulihan keluarga korban dan pertanggungjawaban pemerintah menjadi perjuangan panjang yang harus dilalui.
Keluarga korban pelanggaran HAM dan aktifis dari Kontras melakukan aksi damai Kamisan di depan Istana Negara, Kamis, 23 Oktober 2014. Aksi Kamisan yang ke-371 dan bertepatan kepemimpinan pemerintah baru Joko Widodo, mereka meminta dan menagih janji Jokowi terkait penuntasan kasus Pelanggaran HAM berat. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Getol Kamisan bukanlah hal yang sepele bagi Ruyati. Dengan kondisi ekonomi pas-pasan, Ruyati harus merelakan beberapa rupiah yang berarti baginya sebagai biaya transportasi dan makan.

"Pastinya makan biaya. Banyak juga kawan-kawan saya yang berhenti Kamisan karena masalah ekonomi. Namun, saya tetap melakukannya karena menganggap ini panggilan jiwa," katanya.

Setiap Kamisan, Ruyati harus merogoh koceknya untuk mengeluarkan Rp 25 ribu. Jarak dari rumahnya yang berlokasi di Penggilingan, Jakarta Timur ke Istana Negara, Jakarta Pusat juga cukup menyita waktunya.

"Lumayan juga biayanya. Apalagi, saya sekarang hanya usaha kecil-kecilan dan suami juga penghasilannya tidak tetap. Andai Teten masih hidup, pasti dia masih jadi tulang punggung keluarga," kata Ruyati mengenang.

Trauma dan rasa rindu yang mendalam terhadap sang anak membuat Ruyati menitikkan air matanya ketika ia mengingat Teten. Mal Citra Klender menjadi tempat yang ia benci untuk didatangi.


"Sebenarnya saya merasa lemas dan menahan tangis setiap ke mal itu. Namun, karena saya harus mengurus beberapa hal dengan pengelola mal untuk mengurus perizinan Peringatan Tragedi Mei '98 di sini, saya paksakan diri saya untuk masuk ke mal," katanya.

Mereka yang bertahan dan menyerah

Delapan tahun adalah waktu yang cukup panjang bagi mereka yang menyerah. Ruyati mengatakan, semakin lama, semakin sedikit keluarga korban kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang melakukan aksi Kamisan.

Ia berkisah, Kamisan dipilih sebagai jalan perjuangan karena dianggap sebagai cara yang paling mungkin dilakukan hingga saat ini. Lelah berdemo sampai harus berteriak dan menarik urat, ia dan para keluarga korban akhirnya memilih aksi diam setiap hari Kamis. "Kami sudah lelah berdemo tanpa hasil," katanya.

"Tahun-tahun awal sekitar 40 keluarga korban yang ikut Kamisan. Sementara, minggu lalu hanya sekitar delapan orang," kata Ruyati. Mereka sudah cukup lelah berjuang, katanya. Belum lagi, ada masalah ekonomi yang menjerat.

"Tapi, sekarang banyak kawan-kawan mahasiswa yang ikut Kamisan. Begitu juga dengan organisasi dan lembaga swadaya masyarakat," katanya. Ruyati juga menilai perlakuan polisi terhadap kelompoknya yang melakukan Kamisan sudah berubah.

"Awalnya, polisi membentuk barisan menghadap kami ketika kami Kamisan. Seperti menghalangi. Namun, sekarang, mereka malah terkesan menjaga kami dan bersikap lebih sopan," kata Ruyati. 
Zaenal Muttaqin merupakan salah satu keluarga korban yang masih bertahan melakukan Kamisan hingga kini. Zaenal merupakan saudara Wiji Thukul, salah satu aktivis yang dihilangkan secara paksa pada 1998 silam.

Sudah delapan tahun lamanya, Zaenal melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara. Terkadang ia mengaku lelah namun Zaenal dengan yakin mengatakan tidak akan berhenti begitu saja.

"Di Argentina, para keluarga korban kasus Plaza de Mayo berjuang selama 25 tahun. Akhirnya, kasus itu pun diungkap. Ini jadi contoh untuk kami. Bagi kami, Kamisan selama delapan tahun belum seberapa," katanya kepada CNN Indonesia, saat ditemui di Mal Citra Klender, Jakarta Timur, Selasa (12/5).

Menjaga harapan

Dengan penuh keyakinan, Ruyati mengatakan tidak akan berhenti Kamisan sebelum Presiden Joko Widodo mengambil sikap konkret menyelesaikan Tragedi Mei 1998.

"Kamisan adalah wadah perjuangan kami untuk menuntut keadilan. Kami di depan Istana Negara berdiri satu jam supaya pemerintah melihat keluarga korban serta kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Agar segera merespons," katanya.Selain melakukan aksi diam, mereka juga rajin menyurati sang presiden.

Sepercik harapan sempat dirasakan oleh keluarga korban, tepatnya ketika Jokowi akhirnya membalas surat mereka. "Sekitar 100 hari pemerintahan Jokowi-JK, akhirnya muncul surat balasan dari Jokowi," katanya.

Isinya, Jokowi mengatakan akan mendengarkan jeritan hati para keluarga korban dan tidak akan menghalangi aksi Kamisan yang dilakukan setiap minggunya."Sebuah hal yang tidak pernah terjadi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono," tuturnya.

Namun, Ruyati tak lantas berpuas hati. Ia mau sikap nyata pemerintah, bukan hanya pernyataan basa-basi. "Kami akan selalu berjuang agar Jokowi segera menyelesaikan kasus-kasus berat HAM, terutama yang berkasnya kini sudah di tangan Kejaksaan Agung," katanya. (sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER