Jakarta, CNN Indonesia -- Sekelompok keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia setia berdiri dalam diam di depan Istana Merdeka, Jakarta, setiap hari Kamis. Dalam diam di bawah payung hitam, mereka menuntut pemerintah memberikan keadilan pada para korban yang telah direnggut hak asasinya.
Kamisan, begitu Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menamai aksinya. Dilakukan pertama kali pada 18 Januari 2007, aksi ini telah digelar 396 kali. Intimidasi aparat hingga bencana banjir tak menyurutkan kesetiaan mereka meski harapan tak jarang bertepuk sebelah tangan.
Jauh sebelum Kamisan, para ibu korban kejahatan HAM yang dilakukan kelompok ekstremis sayap kanan dan angkatan bersenjata Argentina telah lebih dulu memulai perjuangan mereka. Bedanya, di Argentina aksi dilakukan setiap Selasa, sejak 1977. Mereka berkumpul dan mengitari pusat pemerintahan di kompleks Plaza de Mayo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami ingin anak-anak kami. Beritahu di mana mereka," teriak ibu-ibu itu. Serupa dengan peserta Kamisan yang dikenal dengan simbol pakaian dan payung hitam, ibu-ibu tersebut dengan mudah dikenali dari syal putih yang mereka ikatkan di kepala mereka.
Pemantik aksi di kompleks Plaza de Mayo adalah pembunuhan dan penghilangan paksa yang dilakukan rezim sayap kanan terhadap orang-orang yang mereka tuding subversif. Kantor berita BBC pernah merilis, setidaknya 30 ribu orang hilang dan dibunuh pada peridoe 1976 hingga 1983.
Aksi menuntut tanggung jawab pembunuhan dan penhihlangan paksa massal di Plaza de Mayo berakhir tahun 2006 silam. Setelah Argentina dipimpin rezim yang terus silih berganti, mereka menyatakan 'musuh mereka sudah tidak berada di rumah rakyat lagi'.
Ketika itu, ibu-ibu tersebut berkata, Presiden Nestor Kirchner berhasil membatalkan aturan hukum yang biasa digunakan pemerintah untuk memberangus warga-warga kritis.
 Keluarga korban pelanggaran HAM dan aktifis dari Kontras melakukan aksi damai Kamisan di depan Istana Negara. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Dua beleid itu mengatur tentang kepatuhan warga negara dan pemberhentian investigasi terhadap mereka yang dituduh melakukan kejahatan politik sebelum Desember 1983.
Berbeda dengan pegiat Kamisan, ibu-ibu dari Plaza de Mayo mendapatkan harapan karena pengadilan Argentina mulai menghukum penguasa rezim otoritarian Argentina.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan yang mengadvokasi korban pelanggaran HAM di Indonesia menyatakan, aksi Kamisan yang digelar di sekitar Istana Merdeka dan Lapangan Monas terilhami aksi di Plaza de MAYO.
"Pilihan tempat yang setara mirip dengan Plaza de Mayo diambil karena tempat tersebut strategis bagi komunitas korban untuk melakukan pendidikan politik terhadap publik Jakarta," tulis Kontras dalam siaran persnya.
(sip)