April yang Membedakan Kemampuan Anak NTT dengan Anak Jawa

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Minggu, 31 Mei 2015 16:50 WIB
Perbedaan kemampuan itu cerminan ketimpangan kondisi pendidikan di Indonesia.
Jakarta, CNN Indonesia -- "Ini ada 12 huruf-huruf, coba kau susun kata 'Bulan April' di atas sini ya," pinta Ernes Bauw, salah satu juri lomba menyusun huruf di Kecamatan Lakmanen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, kepada salah satu peserta lomba, Selasa (26/5).

Setelah mendengar instruksi Ernes, dengan cermat siswi kelas 1 peserta lomba dari sebuah SD di Belu itu mulai menyusun huruf demi huruf untuk menjadi kata 'Bulan April'.

Satu menit berlalu, kata yang diharap belum juga tersusun. "Ayo, jangan lihat-lihat mama (untuk minta petunjuk)," ujar salah satu juri mengingatkan agar peserta lomba tidak meminta bantuan dari orang tuanya dalam menyusun kata.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dua menit tiba, dan batas waktu pun berlalu. Kata sudah tersusun di atas meja berukuran 1,5 x 0,5 meter. Namun, bukan 'Bulan April' yang terbaca dari rangkaian huruf tersebut.

Kata acak tersusun di atas meja sebagai hasil karya siswi peserta lomba tersebut. "Iya, tidak apa-apa mari beri tepuk tangan," ujar Ernes disambut tepuk tangan dari para orang tua dan anak-anaknya yang mengikuti lomba merangkai huruf.

Kegiatan menyusun kata tersebut merupakan salah satu rangkaian acara Festival Membaca 2015 yang diadakan oleh Save The Children di Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, pada 26 dan 27 Mei 2015.

Acara yang diadakan untuk ketiga kalinya di NTT itu diikuti oleh 364 murid kelas 1 hingga 3 dari 26 sekolah dasar (SD) di Kabupaten Belu pada tahun ini. Merangkai kata, membaca puisi, membaca dengan ekspresi, dan kuis menjadi beberapa lomba yang dipertandingkan dalam festival membaca tersebut.

Harun Anggo, Project Manager Save The Children di kawasan NTT mengatakan bahwa lomba merangkai kata diadakan sebagai upaya lembaga non-profit tersebut dalam memperkenalkan huruf kepada anak-anak usia dini.

"Lomba merangkai huruf ini untuk kelas 1 SD. Tujuannya, untuk memperkenalkan huruf untuk dirangkai menjadi kata. Ini salah satu kompetensi yang diharap mampu dilakukan oleh murid kelas 1 SD," ujar Harun kepada CNN Indonesia di Belu, NTT, Selasa (26/5).

Harun mengatakan, kemampuan merangkai huruf menjadi kata bagi anak SD kelas 1 di Belu memang masih minim. Padahal, kemampuan tersebut umum dimiliki oleh murid-murid SD di Pulau Jawa saat ini. (Baca juga: Bahasa Indonesia Kelu di Belu)

Ketimpangan kemampuan murid SD kelas 1 di Kabupaten Belu dan Pulau Jawa dapat menjadi cermin atas kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. Pemerataan kualitas pendidikan terbukti belum terjadi menjelang 70 tahun Indonesia merdeka.

"Di Pulau Jawa memang lebih cepat (kemampuan murid kelas 1 SD nya untuk mengenal huruf dan kata). Tuntutan di sana memang begitu (cepat). Tapi di sini tidak," ujar Harun.

Perkataan Harun memang terbukti. CNN Indonesia mengamati masih kurangnya pemahaman dan kemampuan murid SD kelas 1 hingga 3 di Kabupaten Belu terhadap Bahasa Indonesia.

Mayoritas, anak-anak usia 8 hingga 10 tahun di Belu memang lebih mudah mempelajari bahasa lokal yang ada di sana dibanding bahasa Indonesia. Bahasa lokal yang ada pun sama dengan apa yang dimiliki oleh warga Timor Leste yang hanya berjarak tiga jam dari Kabupaten Belu.

"Ya, bahasa di sini (Lamaknen) dengan Timor Leste memang sama. Karena memang kita satu nenek moyang ya dulu. Satu tanah pula, tapi hanya dipisahkan negara saja," ujar Camat Lamaknen Philips Mau Leto menjelaskan.

Kurangnya kemampuan anak-anak di Belu untuk memahami Bahasa Indonesia disebabkan oleh banyak hal. Minimnya dukungan dari orang tua, dan metode pengajaran di sekolah yang masih bersifat konservatif, dipandang Save The Children menjadi dua penyebab utama kurangnya pemahaman Bahasa Indonesia bagi anak-anak di Belu.

Terpilihnya Belu sebagai lokasi penyelenggaraan festival membaca bukan tanpa alasan. Tingginya tingkat kesulitan membaca anak usia 8-10 tahun di Belu -kabupaten yang berbatasan langsung dengan Timor Leste- menjadi alasan diadakannya acara itu.

Koordinator Program BELAJAR (Better Literacy for Academic Result) dari Save The Children, Benny Giri mengatakan saat ini ada 59,7 persen dari 700 anak berusia 8-10 tahun di Belu masih kesulitan membaca. Bahkan, mereka mengalami ketidakmapuan mengenali kalimat dalam bahasa Indonesia.

“Separuh lebih dari 700 anak terdata buta aksara, atau lebih tepatnya kesulitan membaca dalam bahasa Indonesia. Semakin mendekati perbatasan, jumlah anak yang kesulitan membaca semakin tinggi persentasenya," ujar Benny.

Kurang Gizi, Faktor Pendukung Lemahnya Pemahaman Bahasa Anak

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER