April yang Membedakan Kemampuan Anak NTT dengan Anak Jawa

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Minggu, 31 Mei 2015 16:50 WIB
Perbedaan kemampuan itu cerminan ketimpangan kondisi pendidikan di Indonesia.
Beberapa siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Lamaknen bermain sebelum mengikuti Festival Membaca 2015 yang diadakan di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Selasa (26/5). (CNNIndonesia/Lalu Rahadian)
Kesulitan anak-anak usia 8 hingga 10 tahun di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, untuk mempelajari dan memahami Bahasa Indonesia ternyata tidak sepenuhnya disebabkan oleh faktor sistem pengajaran dan kurangnya dorongan belajar dari orang tua.

Philips Mau Leto mengatakan bahwa kekurangan gizi juga menjadi salah satu penyebab lambatnya anak-anak di Belu memahami Bahasa Indonesia sampai saat ini.

Menurut Felix, sapaan Philips, anak-anak usia sekolah di lokasinya menjalankan tugas memang kerap berangkat ke sekolah tiap harinya tanpa terlebih dahulu menyantap sarapan dari rumah. Jarangnya sarapan yang mereka konsumsi dipandang Felix turut berpengaruh terhadap daya tangkap anak terhadap pembelajaran bahasa di sekolah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya pikir keterlambatan dalam menggunakan bahasa (Indonesia) maupun (menyerap) ilmu tidak semata itu. Ini mungkin pertama (faktor pendukungnya) adalah (kurang) gizi. Kalau gizi kurang kan daya pikir dan daya ingatan juga kurang," ujar Felix.

Felix menjelaskan, beberapa anak memang ia ketahui juga sering mendapat sarapan sebelum berangkat ke sekolah di rumahnya masing-masing. Namun, olahan makanan yang disantap sebelum mereka menimba ilmu juga dipandang belum memenuhi standar kelayakan gizi bagi anak-anak tersebut.

Oleh karena itu, Felix berharap di masa mendatang para orang tua di Belu dapat lebih memperhatikan dan memahami pentingnya faktor gizi untuk mendukung pendidikan anak-anaknya di sekolah.

"Kalau ada yang sarapan pun tidak terlalu cukup gizinya. Misal, ya, ada yang memakan jagung tapi tidak diolah dengan tambahan lain sehingga kurang juga gizinya. Nah, ini yang juga harus menjadi perhatian dan faktor lambatnya menggunakan bahasa Indonesia," kata Felix.

Menurut Koordinator Program BELAJAR (Better Literacy for Academic Result) dari Save The Children, Benny Giri, saat ini ada 59,7 persen dari 700 anak berusia 8-10 tahun di Belu yang masih kesulitan membaca dan memahami Bahasa Indonesia. Bahkan, mereka mengalami sedikit kesulitan untuk mengenali kalimat dalam Bahasa Indonesia.

“Lebih dari separuh dari 700 anak terdata buta aksara, atau lebih tepatnya kesulitan membaca dalam bahasa Indonesia. Semakin mendekati perbatasan, jumlah anak yang kesulitan membaca semakin tinggi persentasenya," ujar Benny . (hel)

HALAMAN:
1 2
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER