LIPUTAN KHUSUS ULTAH JAKARTA

Rayuan Keroncong Jembatan Batu di Macao Po

Tim CNN Indonesia | CNN Indonesia
Senin, 22 Jun 2015 08:31 WIB
Setelah Jilakeng, Komplek pelacuran lain itu dikenal dengan sebutan Macau Po. Berada di dekat Stasiun Jakarta Kota atau sering disebut dengan Stasiun Beos.
Jembatan Batu di sekitar Stasiun Kota (Beos), Jakarta, Rabu, 10 Juni 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejarah pelacuran Jakarta menurut sejarawan Asep Kambali berawal dari Jilakeng di kawasan Pasar Pagi, Tambora, Jakarta Barat. Setelah di Jilakeng muncul, di tempat lain yang masih berada di kawasan Jakarta Kota juga muncul kawasan pelacuran. Komplek pelacuran lain itu dikenal dengan sebutan Macau Po. Tempat ini berada di dekat Stasiun Jakarta Kota atau sering disebut dengan Stasiun Beos. (Baca: Napak Tilas Bisnis Pelacuran Jakarta)

Saksi bisu kawasan tersebut saat ini yang masih berdiri adalah jembatan batu. Sama seperti di Jilakeng, di Macao Po para wanita penghiburnya didatangkan dari luar. Namun germo atau muncikari di tempat ini selain dari Tionghoa juga ada dari Portugis. (Baca: Jilakeng, Benih Pelacuran di Jantung Batavia)

Sebutan Macau Po sendiri diberikan karena para wanita didatangkan dari Macau. Pelanggannya juga juga warga kalangan atas dari bangsa Belanda dan Tionghoa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau pemuda lokal hanya bisa melihat wanita-wanita penghibur itu dari jembatan batu sambil nyanyi keroncong," kata sejarawan Asep Kambali kepada CNN Indonesia.

Karena tidak punya uang untuk menyewa jasa kencan dengan para wanita penghibur di Macau Po, para pemuda lokal ini hanya bisa menggoda para wanita tersebut dengan lagu keroncong yang mereka dendangkan.

Menurut Asep tempat pelacuran di Macao Po berbentuk rumah-rumah. Dari luar, wanita penghibur bisa dilihat dari jendela yang terbuka.

Dari Macao Po, praktik pelacuran terus meluas. Dari semula tempat elite seperti Jilakeng dan Macau Po yang hanya bisa didatangi kelas atas, menjadi kawasan pelacuran kalangan bawah.

Budayawan Betawi Ridwan Saidi dalam tulisan Rode Lamp van Batavia tot Jakarta yang dimuat dalam lembagakebudayaanbetawi.com mengatakan, pelanggan Macau Po adalah kapten dan letnan Tionghoa serta para perwira Belanda.

Untuk kelas menangah ke bawah, komplek pelacuran ada di Gang Mangga, ke arah timur jembatan batu. Karena untuk kelas menengah ke bawah bertarif murah, banyak pelacur-pelacur lokal yang di tawarkan di sini. Namun ada juga beberapa yang beretnis Tionghoa dan keturunan (Indo). 
Ilustrasi Prostitusi. (Thinkstock/AOosthuizen)


Karena murah, kebersihan dan kesehatan para pelacur di sini juga tak terjamin. Karena itu adanya pelacuran kelas bawah ini disusul dengan merebaknya panyakit spilis. Saking identiknya penyakit ini dengan lokasi pelacuran Gang Mangga, maka penyakit ini saat itu lebih dikenal dengan sebutan penyakit Gang Mangga.

Selain di Gang Mangga, pelacuran kelas dua lain yang mulai bermunculan dan dikenal dengan nama Soehian. Soehian awalnya adalah Rumah hiburan yang juga dikelola warga Tionghoa. "Di suhian orang dapat mendengar musik gambang kromong sambil minum teh seraya menikmati suara merdu wayang ciokek (penyanyi gambang) membawakan lagu-lagu dalem semisal Mawar Tumpa, Peca Piring, dan Semar Gundem," kata Ridwan. Namun rumah hiburan ini kemudian berubah menjadi rumah bordil.

Namun tragedi tewasnya tiga orang pelacur yang biasa bekerja di Soehian membuat tempat tersebut lantas tak laku. Para pelacur yang terbiasa menjual jasanya di rumah-rumah Soehian, kemudian menjajakan diri di jalanan.

Kawasan di Gang Kaligot, Sawah Besar dan Gang Heube, Petojo menjadi pilihan. Di Sawah Besar, para pelacur memanfaatkan sebuah jembatan Ciliwung di depan Plaza Gajah Mada sekarang sebagai tempat mangkal. Semerbak minyak wangi para pelacur yang tercium membuat warga sekitar menyebutnya jembatan tersebut sebagai jembatan busuk. (Baca: Ahok: Pelacuran Mirip Sampah) (sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER