Jakarta, CNN Indonesia -- Kramat Tunggak merupakan lokalisasi bisnis seksual legal pertama di Jakarta. Pendiriannya pun didasarkan aturan hukum yang jelas.
Gubernur Ali Sadikin melalui Surat Gubernur bernomor Ca.7/1/39/71 memerintahkan bawahannya untuk memindahkan seluruh lokasi transaksi jual-beli seksual di ibukota ke Kramat Tunggak yang berada di pinggiran utara Jakarta. (Baca:
Napak Tilas Bisnis Pelacuran Jakarta)
Pada bukunya yang berjudul Perempuan-perempuan Kramat Tunggak, mendiang Endang Rahayu Sedyaningsih menuturkan, pemerintah daerah menginstruksikan para germo untuk mendaftarkan diri ke Suku Dinas Sosial Jakarta Utara. Tujuannya agar mereka mendapatkan kavling di Kramat Tunggak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena berdiri di atas berbagai aturan hukum, aktivitas di lokalisasi yang dekat Pelabuhan Tanjung Priok ini tak berjalan sekenanya. Pemerintah melalui dinas dan panti sosial setempat memberlakukan peraturan-peraturan tertentu. Meski, dalam tesisnya Endang menulis, peraturan itu tak jarang hanya menjadi barisan kalimat yang diam dan tak berdaya.
Yang selalu diingat Malif, penjaga tempat parkir di eks lokalisasi, adalah suasana sunyi tatkala azan magrib berkumandang dari masjid yang berada di Jalan Kramat Jaya. “Musik harus dimatikan. Sepi,” ujarnya kepada CNN Indonesia awal Juni lalu.
Perkataan Malif membenarkan apa yang ditulis Endang. Dalam bukunya ia menulis, “kompleks yang ingar-bingar itu mendadak hening dan sunyi senyap. Sesuai ketentuan panti, musik harus dimatikan saat azan Magrib hingga menjelang Isya.”
Namun, ajakan untuk salat itu tidak menghentikan segala sesuatu di lokalisasi. Endang menulis, para pekerja seks komersial dan para pelanggan mereka beraktivitas dalam diam.
Bir—satu-satunya minuman beralkohol yang boleh diperjualbelikan di lokalisasi—tetap dapat diteguk. Lampu yang menyala kedap-kedip di rumah bordil pun tetap menyala, seolah memanggil calon pelanggan. (Baca:
Ahok: Lokalisasi Prostitusi Tidak, Toko Minuman Keras Bisa)
Usai Isya, barulah Kramat Tunggak benar-benar hidup. Malif mengatakan, transaksi jual-beli birahi mencapai puncaknya pada pukul tujuh hingga 12 malam.
Sesuai peraturan, selepas tengah malam tidak boleh lagi ada tawar-menawar. Para pelanggan diberikan pilihan: pulang atau menginap. Setiap rumah bordil menetapkan tarif tambahan yang berbeda bagi para lelaki hidung belang itu.
(sip)