Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Hercules memang bukan pesawat biasa. Setidaknya bagi keluarga kami. Saat itu sekira tahun 1984, saya masih mau masuk SD. Waktu itu kami, almarhum bapak, mamak, saya dan dua saudara pulang ke Lamongan, Jawa Timur. Sekitaran tahun 1967 kalau tidak salah, bapak bertugas sebagai pegawai negeri sipil di Pontianak, Kalimantan Barat.
Mungkin setelah menabung cukup lama, akhirnya bapak bisa mengajak kami sekeluarga menjenguk kampung halaman, naik pesawat. Naik pesawat waktu itu masih keren, dengan tiket yang tebal berlembar-lembar. Seingatku, waktu berangkat dari Pontianak kami naik Bouraq, maskapai yang sudah tidak ada sekarang.
Senang dan gugup naik pesawat untuk kali pertama. Ternyata menyenangkan. Apalagi waktu itu saya duduk dekat jendela. Kursinya empuk dan dingin. Melihat rumah-rumah mengecil dan jalan-jalan memberikan perasaan gembira buat saya. Apalagi ada mbak-mbak cantik - yang kemudian saya tahu itu namanya pramugari - melayani kami dengan baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah penerbangan, kami mendapat nasi kotak. Saya juga dapat, dengan oseng buncis dan paha ayam yang besar. Paha ayam terbesar yang pernah saya dapatkan. Yang saya tahu, kami turun Jakarta, lalu sambung dengan naik kereta api Gaya Baru di Senen dan sampai lah di Lamongan.
Apa yang keluarga kami lakukan di Lamongan, saya tidak begitu ingat. Yang pasti kami lalu mesti balik ke Pontianak. Kami kembali naik kereta api Gaya Baru ke Jakarta. Waktu di Jakarta, seingatku, almarhum bapak bilang kami akan naik Sempati, maskapai milik Keluarga Cendana yang kini juga sudah tidak ada. Tiket yang tebal sudah ditunjukkan ke kami. Waktu itu bandara Jakarta masih di Kemayoran.
Kami sekeluarga sepertinya terlambat datang karena hari itu kami tidak jadi naik Sempati. Dari bandara, bapak mengajak kami semua menginap di rumah kawannya, entah di daerah mana selama dua hari. Pada hari ketiga, kami lalu pamit pulang. Saya tidak tahu pergi ke mana, tapi tampaknya ke Bandara Halim Perdana Kusuma.
Tak ingat persis saya, namun kami sekeluarga akhirnya naik pesawat juga. Pesawat ini berbeda dengan yang kami naiki sebelumnya. Warnanya abu-abu dan besar sekali. Tidak hanya kami, saya lihat banyak juga keluarga lain naik pesawat ini.
Begitu naik ke pesawat, saya heran dengan besarnya bagian dalam. Itu yang pertama. Yang kedua, kursi di pesawat itu bukan seperti kursi empuk pada pesawat yang saya naiki sebelumnya. Kursi pesawat abu-abu ini hanyalah berbentuk jaring-jaring dari tali warna merah yang menempel di dinding pesawat. Seingat saya, tidak ada jendela untuk melihat ke bawah. Panas juga.
Yang paling menyebalkan, sepanjang penerbangan, saya berharap dapat nasi kotak dengan paham ayam yang besar. Sampai turun di Bandara Supadio, tak pernah ada nasi kotak. Juga mbak-mbak cantik yang melayani kami. Tak lama berselang, almarhum bapak bilang kami pulang naik pesawat Hercules.
Bapak cuman bilang tak punya uang untuk naik pesawat seperti yang pertama karena kami terlambat. Tiket hangus. “Untunglah ada Hercules, jadi kita bisa balik ke Pontianak,” kata bapak. Bapak tidak cerita bagaimana akhirnya dia bisa mengajak kami semua pulang naik Hercules. Mungkin tidak perlu dijelaskan, atau terlalu rumit juga dipahami bagi anak yang baru akan masuk SD.
Saat saya pindah ke Jakarta tahun 2007 untuk bekerja di sebuah koran nasional dan mudik Lebaran adalah semacam kewajiban yang cukup melelahkan, sejak mencari tiket. Yang cukup berbahagia adalah teman-teman saya yang asal Malang. Mereka tak terlalu pusing mencari tiket pulang, tetapi cukup sering mudik bersama-sama.
Ternyata, mereka sering mudik ke Malang dengan menumpang Hercules dari Halim. Malang punya Bandara Abdul Rahman Saleh yang juga jadi pangkalan Angkatan Udara. Kalau tidak salah, teman-teman saya bilang hanya bayar entah Rp 50 ribu atau Rp 150 ribu. Mereka bilang, punya kenalan orang Angkatan Udara yang baik.
Teman Angkatan Udara itu kemudian yang mendaftarkan mereka untuk bisa mudik naik Hercules. Begitu tiba di Halim, teman-teman saya asal Malang tinggal naik saja dengan membayar uang perjalanan yang murah itu.
Pengalaman yang menyenangkan soal mudik bersama TNI terjadi pada saya di Lebaran tahun lalu. Tiket pesawat balik di tanggal yang semestinya habis. Saya meminta bantuan teman yang punya kenalan baik di Puspenerbal Juanda. Akhirnya saya dapat kepastian bisa balik ke Jakarta dengan menumpang pesawat milik TNI Angkatan Laut.
Diantar kawan pagi hari, saya masuk ke Puspenerbal Juanda. Bukan saya saja ternyata. Banyak anggota TNI AL dan keluarganya sudah berada di sana. Semuanya dikumpulkan di ruang tunggu. Lalu ada petugas yang memanggil nama-nama yang naik pesawat CN 235 yang akan kami tumpangi. Nama yang dipanggil adalah anggota TNI AL atau keluarga TNI AL.
Setiap yang namanya dipanggil akan maju untuk ditimbang, baik berat badan mapun barang bawaan. Begitu pun saya. Ada yang diminta untuk meninggalkan beberapa barang karena dinilai sudah melebihi batas bawaan. Usai ditimbang, saya diberi kupon dengan nama saya dan dicatat di sebuah buku oleh seorang petugas yang lain. Seingat saya, saya hanya diminta mengganti Rp 150 ribu.
Kami lalu ada yang diantar naik mobil pikap, tapi ada juga yang memilih jalan kaki ke pesawat. Pesawat Puspenerbal Juanda yang saya naiki ini bagus dan terawat. Penumpangnya seingat saya 35 orang dengan kursi yang menempel di dinding. Tapi kursinya empuk, ada sabuk pengaman dan memakai AC. Di tengah penerbangan, saya masih diberi kudapan.
Setelah mungkin penerbangan 3 jam, akhirnya saya mendarat di Lapangan Udara Pondok Cabe, Tangerang Selatan dengan sangat selamat. Saya masih berterima kasih sampai sekarang kepada Puspenerbal Juanda karena baik hati mengantarkan saya kembali ke Jakarta.
Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu menyebutkan bahwa pesawat militer sejak dulu memang biasa ditumpangi warga sipil yang membayarkan sejumlah uang. "Dari dulu juga ada yang ikut," ujar Ryamizard.
Menurut dia, warga memang diperbolehkan untuk menumpangi pesawat milik TNI sebagai bukti kedekatan tentara dengan rakyat. "Kalau mau ikut boleh saja. Dari dulu begitu. Tidak apa-apa. Dengan rakyat harus sama-sama," ujar dia.
Meski demikian, Ryamizard menolak jika ikutnya warga sipil dalam penerbangan pesawat militer disebut-sebut sebagai salah satu cara TNI mengambil keuntungan atau komersialisasi.
(sip)