Jakarta, CNN Indonesia -- Seribu orang anggota intelijen baru harus direkrut dalam satu tahun. Itu tugas ekstraberat dari Presiden Jokowi untuk Letnan Jenderal Purnawirawan Sutiyoso yang akan dilantik menjadi Kepala Badan Intelijen Negara menggantikan Marciano Norman, Rabu (8/7).
Pekerjaan rumah untuk Sutiyoso itu jauh dari ringan karena intelijen mestinya bukan orang-orang sembarangan. Mereka pilihan. Yang terbaik di antara yang paling baik. Dengan segala kemampuannya, mereka harus menjamin keamanan negara dengan memasok informasi akurat. (Baca:
Sutiyoso Beberkan Enam Ancaman yang Patut Diwaspadai BIN)
Sutiyoso menyatakan BIN sesungguhnya membutuhkan 5.000 lebih personel. Nyatanya mereka hanya punya 1.975 orang –setengahnya pun tak sampai dari sumber daya manusia yang diperlukan. (Baca juga:
Sutiyoso Minta Waktu untuk Mengenal BIN)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Jadi kami akan rekrut 1.000 orang dengan kualifikasi dari berbagai disiplin ilmu,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta dua periode yang lama berkarier di dunia militer itu.
Seribu orang harus didapat waktu satu tahun karena BIN memerlukan pasukan untuk menghadapi gelaran akbar politik tanah air dari Sabang sampai Merauke, yakni pemilihan kepala daerah serentak yang gelombang pertamanya dimulai akhir tahun ini.
Kekuatan BIN saat ini, ujar Sutiyoso, tak sebanding dengan kebutuhan negara untuk mengamankan pilkada serentak di 269 daerah pada akhir 2015, sebab anggota BIN tak merata ada di semua daerah.
“Satu anggota BIN menjaga tiga kabupaten. Tidak masuk akal. Apalagi ini pilkada serentak. Bila ada kekacauan 10 persen saja, maka akan segera menjadi sangat kacau,” kata Sutiyoso. Idealnya, kata Wakil Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu, satu kabupaten dijaga lima sampai enam agen intelijen.
Di samping mesti menambah kuantitas personel dalam waktu singkat, kualitas juga diminta Jokowi diperhatikan oleh Sutiyoso, apakah para agen intelijen itu sudah sesuai dengan pembidangan masing-masing atau tidak. Sejumlah anggota BIN akan disekolahkan lagi hingga level pascasarjana.
Kuantitas dan kualitas personel, struktur organisasi, hingga fasilitas BIN terutama alat teknologi informasi dan komunikasi, seluruhnya harus dibenahi dan dilengkapi Sutiyoso agar lembaganya tak ketinggalan zaman.
“Kalau tidak punya alat yang super canggih, kita (Indonesia) akan jebol terus, disadap, seperti pengalaman yang lalu saat komunikasi presiden dan pejabat tinggi negara ini disadap. Padahal mestinya kita bisa proteksi komunikasi pejabat tinggi kita,” kata dia. (Baca juga:
Sutiyoso Minta Anggaran BIN Naik)
Penyadapan yang dimaksud Sutiyoso itu adalah kasus yang menyeruak pada November 2013. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan kemarahannya atas penyadapan yang dilakukan Badan Intelijen Australia (
Defence Signals Directorate –kini berubah menjadi
Australian Signals Directorate)
Ketika itu seorang mantan perwira DSD seperti dilansir
International Business Times Australia mengatakan Jakarta menjadi pusat aksi spionase Australia di Asia karena dua faktor, yakni pertumbuhan jaringan telepon seluler yang pesat di Indonesia dan elite politik Jakarta sangat cerewet. Para elite politik ini, menurut sang perwira, akan tetap mengoceh andai tahu disadap oleh agen intelijen Indonesia sendiri.
Jejak militer berbayang nodaDalam bukunya,
Sutiyoso, The Field General: Totalitas Prajurit Para Komando, Sutiyoso membanggakan bekas-bekas luka di tubuhnya yang ia peroleh ketika bertugas di lapangan. “Prajurit itu ya begini. Ada bekas-bekas luka dari lapangan,” kata dia.
Buku
Kopassus, Inside Indonesia's Special Forces karangan Ken Conboy menyebutkan Sutiyoso menjadi komandan dalam sub Tim Umi yang disusupkan ke Suai, Timor Timur (kini Timor Leste). Tim Umi adalah salah satu tim tertutup Kopassus yang menyusup ke Timor Timur pada 1975. Total ada tiga tim yang disusupkan. Selain Tim Umi, ada pula Tim Susi dan Tim Tuti.
Mantan anggota Kopassus Gatot Purwanto kepada CNN Indonesia mengatakan Sutiyoso saat itu menjadi Wakil Komandan dua tim sekaligus, yakni Tim Tuti dan Tim Umi. Tapi, menurut Gatot, Sutiyoso tergolong prajurit yang biasa saja.
“Dia tidak bagus sekali, juga tidak jelek selama di Timor Timur. Tapi menurut saya, latar belakang intelijennya tidak sebagus pengalaman lapangan dia. Mungkin Jokowi punya pertimbangan lain, sebab Marciano Norman juga kan sepertinya latar belakang intelijennya tak seberapa,” kata Gatot.
Meski dianggap biasa, Sutiyoso justru menjadi sorotan publik internasional karena dianggap terkait dengan peristiwa Balibo Five yang menewaskan lima wartawan Australia. Sutiyoso bahkan pernah didatangi polisi Australia pada Mei 2007. Saat itu dia sedang berada di New South Wales untuk memenuhi undangan pemerintah negara bagian Australia itu.
Sutiyoso sendiri membantah terlibat tragedi Balibo Five. Menurutnya, saat itu dia sedang bertugas di Batu Gede, kota di utara Balibo, bukan di Balibo. Polisi Austraia akhirnya menghentikan investigasi kasus Balibo Five karena kekurangan bukti. Sejatinya Australia ingin membuktikan bahwa kelima jurnalis mereka itu dibunuh secara sengaja, bukan dalam baku tembak. (Baca:
Jangan Salahkan Kopassus di Kasus Balibo)
Timor Timur memang menjadi sejarah hidup Sutiyoso. Dia mulai masuk provinsi yang akhirnya lepas dari Indonesia itu ketika menjadi bagian dari operasi intelijen tempur terbatas, yakni Operasi Flamboyan dan Operasi Seroja. Setahun sebelumnya, 1974, Sutiyoso bahkan menyusup sendirian ke perbatasan Timor Timur.
Menyusup seorang diri saat itu memang sudah jadi tugas Sutiyoso, sebab dia merupakan bagian dari Sandhi Yudha Kopassus yang menjalankan tugas perang rahasia atau
clandestine operation.
Dari timur, Sutiyoso terbang ke barat. Dia terlibat operasi militer Aceh pada pertengahan 1978. Sepuluh bulan dia memimpin Operasi Nanggala 27 melawan Gerakan Aceh Merdeka. Pasukannya menangkap hidup-hidup banyak tokoh GAM kecuali pendiri GAM Hasan di Tiro.
Berbagai jabatan militer diemban Sutiyoso, mulai Asisten Personel Kopassus (1987-1989), Asisten Operasi Kopassus (1989-1991), Asisten Operasi Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (1991-1992), sampai Wakil Komandan Jenderal Kopassus (1992-1993).
Total 30 tahun Sutoyoso malang-melintang di dunia kemiliteran –25 tahun dia habiskan di Kopassus dan sisanya di Kostrad. Pada 1994, Sutiyoso menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jaya, dan kemudian naik pangkat menjadi Panglima Kodam Jaya.
Saat Sutiyoso menjabat Panglima Kodam Jaya inilah noda hitam kembali mewarnai rekam jejaknya. Dia dikait-kaitkan dengan tragedi berdarah penyerangan Kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta. Sutiyoso disebut-sebut memimpin langsung penyerangan ke Kantor PDI pada 27 Juli 1996 itu. (Baca:
Jejak ‘Darah’ di Balik Kemegahan Kantor Enam Lantai PDIP).
Itu masa lalu. PDI Perjuangan kini justru mendukung penuh Sutiyoso sebagai Kepala BIN. Mereka sama-sama bagian dari pemerintahan saat ini. Titah meloloskan Sutiyoso dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi I DPR datang langsung dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. (Baca:
Mega Perintahkan PDIP ‘Amankan’ Sutiyoso)
Kembali ke saat Sutiyoso menjabat Panglima Kodam Jaya, Jakarta berjodoh dengannya. Dari Panglima Kodam Jaya yang sering berdiskusi dengan tokoh masyarakat terkait keamanan ibu kota, Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta dua periode, 1997-2007. Sepuluh tahun sempurna.
Politik menjadi bagian dari dunia Sutiyoso usai melepas tugas ketentaraan. Dia menjadi Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, salah satu partai yang mendukung pemerintahan Jokowi dan menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Hebat.
Tak sukses mengantarkan partainya lolos ke parlemen, bukan berarti akhir karier berkilat Sutiyoso. Lagi-lagi kini dia punya jabatan bergengsi baru: Kepala Badan Intelijen Negara.
(agk)